ANKARA, MINGGU —Tersentak oleh hasil pemilu lokal, akhir Maret lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bergegas menjanjikan reformasi perekonomian untuk menghidupkan kembali kepercayaan warga. Ia masih memiliki ruang dan waktu leluasa untuk fokus pada ekonomi mengingat Turki baru akan menggelar pemilu lagi pada tahun 2023.
Sebagaimana diwartakan, awal pekan lalu, publik Turki dikejutkan oleh kekalahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan dalam perebutan kursi gubernur (wali kota metropolitan) di sejumlah kota besar, seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Antalya, dan Adana. Kekalahan AKP di Istanbul dan Ankara itu merupakan yang pertama terjadi sejak AKP berkuasa tahun 2002.
Kekalahan itu juga menjadi pukulan telak bagi Erdogan. Dua kota besar di Turki tersebut selama ini dikenal sebagai basis massa pendukung AKP.
Perekonomian Turki memang tengah dihadapkan pada persoalan tingginya biaya hidup seiring tekanan yang melanda mata uang lira. Para analis menilai Erdogan harus mampu meyakinkan investor-investor yang selama ini telanjur melihat Erdogan gemar menerapkan kebijakan ortodoks dan populis. Pada saat bersamaan, kondisi pelik harus dihadapi Turki dalam hubungan diplomatiknya dengan Amerika Serikat yang secara umum cenderung menerapkan kebijakan ekstrem.
Volatilitas diperkirakan masih membayangi pergerakan mata uang lira. Menurut pengamat, Erdogan harus dapat menyeimbangkan pendapatan dengan biaya-biaya rutin negara demi terciptanya reformasi ekonomi lebih dalam sehingga dapat menjamin stabilitas jangka menengah dan panjang bagi Turki. Sepanjang tahun 2018, mata uang lira melemah sekitar 30 persen terhadap mata uang dollar AS.
Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak, yang juga menantu Erdogan, mengatakan, Turki akan memasuki ”periode penyeimbangan ekonomi” setelah pemilu. Dirinya berjanji mengungkapkan rincian reformasi ekonomi, pekan depan. Albayrak juga dijadwalkan bertemu dengan pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington, 12-14 April. Albayrak ”menjelaskan peta jalan baru” bagi ekonomi Turki, demikian dilansir surat kabar Daily Sabah.
”Masalah ketertekanan ekonomi memang yang melatarbelakangi pilihan warga di bilik suara pada saat pemilu, maka Erdogan akan dipaksa mengatasi masalah yang mendasarinya,” kata Amanda Sloat dari Brookings Institution. ”Namun, ia relatif memiliki ruang terbatas untuk bermanuver.”
Partai AKP membangun keberhasilan di atas pertumbuhan ekonomi yang kuat bagi Turki. Para pendukung partai dan warga secara umum pun mengalami kemajuan standar kehidupan selama 16 tahun Erdogan menjabat. Namun, masa- masa itu berubah kemudian. Sempat menjadi negara yang digemari sebagai tempat tujuan investasi, Turki lalu dihindari investor karena masalah muncul, misalnya pertumbuhan ekonominya cenderung dipompa oleh kredit dari luar negeri.
Turki tergelincir ke dalam resesi untuk pertama kali dalam satu dekade. Tingkat inflasinya melesat mencapai dua digit. Para ekonom, investor, dan pelaku pasar pun menantikan dan memperhatikan bagaimana pejabat Turki memilih dan mengelola pemulihan ekonomi negeri itu sesuai yang dijanjikan kelak.
Pejabat Turki beberapa kali membicarakan reformasi yang luas, termasuk pemeriksaan pajak dan langkah untuk memperkuat pertumbuhan. Namun, para analis tetap khawatir atas paparan utang luar negeri terhadap perusahaan Turki. Perusahaan itu harus menghadapi pembengkakan utang luar negeri akibat posisi lira yang lebih lemah. (AFP/BEN)