JAKARTA, KOMPAS— Indonesia dan Malaysia menyampaikan keberatan atas rencana larangan Uni Eropa terhadap sawit. Bagi Indonesia, keberatan dimaksud dikaitkan dengan nasib sekitar 20 juta warga yang secara langsung ataupun tidak langsung bekerja di usaha kelapa sawit.
”Kemarin Presiden Joko Widodo sudah menandatangani surat bersama Perdana Menteri Mahathir tentang keberatan kita mengenai rencana Uni Eropa melarang sawit Indonesia dan Malaysia atau sawit dunia,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Luhut mengharapkan lembaga swadaya masyarakat Indonesia juga terpanggil mengingat dampak bagi 20 juta warga tersebut. ”Terkait soal lingkungan, berkali-kali saya katakan, kami itu tidak akan membuat kebijakan yang akan merusak generasi mendatang,” katanya.
Menurut Luhut, kebijakan satu peta pun ditujukan untuk memperketat atau memperbaiki pengawasan pelanggaran dengan sistem dan teknologi saat ini. Sementara itu, pengendalian pasokan dan permintaan diarahkan untuk menjaga harga minyak sawit.
Tak hanya itu, melalui program replanting atau peremajaan tanaman, yang 40 persen dipunyai petani plasma, diupayakan peningkatan hasil dengan penggantian bibit yang baik. ”Jadi kalau sekarang 1,9 hingga 2 ton per hektar, kami ingin dalam 5 hingga 10 tahun ke depan bisa 6 ton per hektar atau lebih. Itu akan memperkaya petani kita,” ujar Luhut.
Ia mengatakan, Indonesia pun tak ingin mengalami ketergantungan tinggi impor minyak mentah. Terkait hal tersebut, 20-30 persen minyak sawit akan dikonversi menjadi energi.
Program B20 pun mampu menghemat devisa yang sebelumnya keluar untuk impor minyak mentah. Langkah ini penting agar transaksi berjalan tidak terganggu. Nilai tambah pun dapat diperoleh dari produk turunan sawit.
”Ini semua adalah lingkaran besar buat kita. Jadi tidak sekadar memperjuangkan petani, tetapi juga memikirkan dampaknya kepada rakyat Indonesia,” ujar Luhut.
Ia mengatakan, apabila soal rencana larangan UE terhadap sawit ini masih berlanjut, maka opsi apa pun akan diambil ketika sudah menyangkut kedaulatan.
Dampak diskriminasi
Beberapa waktu lalu Koordinator Penelitian dan Pengembangan Jaringan Pekerja/Buruh Sawit Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, diskriminasi sawit atau minyak sawit mentah Indonesia di Uni Eropa berdampak sosial ekonomi.
Menurut Andy, kebijakan diskriminatif terhadap sawit akan meningkatkan angka kemiskinan seiring hilangnya pekerjaan dan jaminan sosial para pekerja kelapa sawit.
Padahal, salah satu prinsip SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan) adalah mereduksi kemiskinan.
”Pemerintah perlu menjelaskan faktor dan dampak sosial ekonomi dari kebijakan diskriminatif pemerintah atau parlemen Uni Eropa terhadap produk sawit Indonesia di Uni Eropa,” kata Andy yang juga Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia.(CAS)