LONDON, SENIN— Rakyat Inggris menginginkan pemimpin yang kuat yang mampu menerobos kebuntuan politik akibat krisis Brexit yang sudah berlarut-larut selama tiga tahun. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik Inggris mencapai titik terendah dalam 15 tahun terakhir.
Dalam artikel di Reuters, Senin (8/4/2019), disebutkan, riset oleh Hansard Society menunjukkan, 54 persen pemilih menginginkan pemimpin yang kuat, sedangkan 72 persen menyatakan, sistem politik Inggris membutuhkan banyak perbaikan. Kepercayaan terhadap pemerintahan saat ini merupakan yang terendah dalam 15 tahun terakhir, bahkan lebih rendah dari skandal politik yang terjadi pada 2009 yang mana para anggota parlemen menggunakan pajak yang dibayar rakyat untuk kepentingan pribadi mereka, termasuk untuk membersihkan parit sampai untuk membeli hiasan rumah.
”Opini masyarakat terhadap sistem pemerintahan merupakan yang terendah dalam rangkaian audit kami selama 15 tahun. Rakyat merasa pesimistis akan masalah yang dihadapi negara dan bagaimana pemerintah mencari solusinya,” kata Hansard Society yang melakukan survei antara 30 November dan 12 Desember 2018 oleh Ipsos MORI.
Tuntutan Buruh
Pertemuan antara tim PM Theresa May dan tim Jeremy Corbyn dari kubu Partai Buruh yang berlangsung akhir pekan lalu menyepakati sejumlah poin yang diharapkan bisa meraih dukungan mayoritas di parlemen.
”Terkait Brexit ada wilayah di mana kedua partai sepakat mengakhiri pergerakan bebas (warga Eropa di Inggris), sepakat keluar dari blok dengan kesepakatan yang baik dan kami ingin lapangan pekerjaan dilindungi,” kata May dalam pernyataan tertulis dari Downing Street.
Dalam rangka meraih dukungan dari Partai Buruh, May berencana mengajukan RUU terkait pengaturan pabean dengan Uni Eropa. May juga telah menawarkan tempat bagi anggota Buruh ambil bagian dalam delegasi Inggris ke KTT UE di Brussels yang dimulai 10 April.
Di Brussels, May akan mengajukan kembali perpanjangan tenggat Brexit yang akan berakhir pada 12 April mendatang. Inggris berharap UE dapat memperpanjang tenggat sampai 30 Juni meskipun itu berarti Inggris harus mengikuti pemilihan parlemen Eropa.
Perancis tolak
Meski demikian, Perancis menentang perpanjangan Brexit kecuali Inggris siap dengan rencana yang jelas dan memperoleh dukungan politik parlemennya. ”Tanpa rencana seperti itu, kami menganggap Inggris ingin keluar tanpa kesepakatan,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Menurut Macron, Inggris tak bisa terus menyandera Uni Eropa. ”Kita tidak bisa terus-menerus mengurusi Brexit. Harus ada akhirnya,” ujarnya.
Uni Eropa telah memperpanjang tenggat Brexit yang seharusnya berakhir pada 29 Maret lalu. Jika parlemen menerima kesepakatan Brexit, tenggat diperpanjang sampai 22 Mei. Jika ditolak, perpanjangan hanya sampai 12 April. Parlemen sudah menolak kesepakatan itu tiga kali.