Pertarungan antara pendiri WikiLeaks, Julian Assange, dan Amerika Serikat memasuki babak baru setelah warga Australia yang mendapat suaka di Kedutaan Besar Ekuador di London, Inggris, itu ditangkap, Kamis (11/4/2019). Ada sisi konsep nilai-nilai yang jadi bumbu penyerta dalam penangkapan itu, seperti kebebasan berpendapat, hak-hak jurnalis, kepentingan negara, bahkan pengkhianatan.
Akan tetapi, di antara semua isu tersebut, pertama-tama yang mengejutkan adalah sikap Pemerintah Ekuador yang tiba-tiba mengakhiri suaka terhadap Assange setelah pria berusia 47 tahun itu tinggal di Kedutaan Ekuador di London selama tujuh tahun. Perubahan sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari perubahan pemerintahan di Ekuador.
Begitu terpilih menjadi Presiden Ekuador tahun 2017, Lenin Moreno menyuruh Assange untuk menghentikan komentar politiknya secara daring, berhenti menggunakan papan luncur di lorong kedutaan, dan membersihkan kotoran kucing kesayangannya. Sikap ini berbeda dengan presiden Ekuador sebelumnya, Rafael Correa, yang justru memandang Assange sebagai pahlawan karena mengungkap dokumen rahasia AS.
Pemerintahan Moreno menuduh WikiLeaks berada di balik laman anonim yang menyatakan bahwa saudara Moreno mendirikan perusahaan lepas pantai yang biasa dipakai keluarga Moreno membiayai gaya hidup mewah mereka di Eropa ketika Moreno menjadi delegasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dokumen yang disebut ”INA Papers” itu berisi foto-foto pribadi Moreno dan keluarganya. Setelah informasi ini dirilis, Moreno secara tidak langsung mengatakan bahwa Assange tidak berhak ”meretas akun pribadi dan nomor telepon”.
Dalam pesan dan pernyataannya kepada kantor berita Reuters, WikiLeaks menyangkal keras bahwa Assange bertanggung jawab atas pengungkapan tersebut.
Di luar itu, Pemerintah Ekuador juga keberatan dengan perilaku Assange yang tidak bisa diterima dan dinilai tak tahu berterima kasih. Mereka telah mengeluarkan 6,2 juta dollar AS untuk membiayai Assange selama tinggal di kedutaan. Assange mendapatkan suaka di Kedutaan Ekuador sejak tahun 2012 untuk menghindari ekstradisi ke Swedia, negara yang menuduhnya melakukan kekerasan seksual dan pemerkosaan. Kasus ini belakangan dicabut oleh Swedia.
Ancaman bagi jurnalisme?
Di sisi lain, setelah Assange ditangkap, pengacaranya di London segera membingkai peristiwa itu sebagai bentuk ancaman terhadap hak-hak jurnalis dalam mengungkap cerita sensitif di seluruh dunia. Namun, timbul pertanyaan: apakah yang dilakukan oleh Assange dengan WikiLeaks-nya adalah sebuah pekerjaan jurnalistik atau sesuatu yang lain?
Ketika diluncurkan tahun 2006, WikiLeaks memproduksi data mentah, bukan cerita. Tahun 2010, ribuan memo, kawat luar negeri, dan dokumen rahasia lain seputar perang yang dilancarkan AS diungkap. Assange bermitra dengan The New York Times, The Guardian, Der Spiegel, dan media lain dalam memilah dokumen-dokumen itu.
Washington pun ”tersengat”. Assange lalu dituduh berkonspirasi dengan Chelsea Manning dalam membobol komputer Pentagon. Nama WikiLeaks pun naik ke level yang lebih tinggi. Ada yang melihat Assange sebagai pahlawan, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai pengkhianat. WikiLeaks dianggap sebagai media yang ditopang oleh kekuatan internet dan demokratisasi informasi.
Menurut Lisa Lynch, profesor jurnalisme di Drew University, WikiLeaks telah membawa tren positif bagi jurnalisme dalam satu dekade terakhir, yakni memperkuat pentingnya jurnalisme berbasis data. Investigasi perusahaan lepas pantai sejumlah tokoh politik, ”Panama Papers”, tahun 2016 memperlihatkan hasil kerja sama jurnalis jika bekerja sebagai tim.
Namun, Profesor Todd Gitlin dari Columbia University tak melihat Assange sebagai jurnalis. ”Sejak awal, saya kesulitan melihat dia (Assange) sebagai seorang jurnalis. Tetapi, tentu ia adalah seorang penerbit dengan sudut pandang berbeda. Sudut pandang dia adalah antidemokrasi,” kata Gitlin.
Polemik apa pun soal penangkapan Assange, satu hal yang jelas: Assange tak akan ke mana-mana saat ini. Ekstradisi ke AS pun bisa memakan waktu tahunan. (REUTERS/AP/AFP/ADH)