LONDON, JUMAT Perempuan jurnalis Lyra McKee (29) tewas tertembak dalam kerusuhan di kota Londonderry di Irlandia Utara (wilayah Inggris), Kamis (18/4/2019) malam. Pihak kepolisian menyatakan tindakan ini sebagai aksi teroris.
”Lyra McKee terbunuh dalam kerusuhan di Creggan, semalam”, kata Mark Hamilton, pejabat polisi, dalam pernyataan tertulis, Jumat kemarin.
Sebelum insiden terjadi, Lyra McKee sempat mengunggah foto kerusuhan di Creggan, Londonderry, di media sosial. Di foto itu terlihat dua mobil terbakar dan sejumlah orang dengan menggunakan tutup kepala melemparkan bom bensin ke arah mobil-mobil polisi. McKee menulis, ”Derry malam ini. Menggila”.
Menurut polisi, seorang pria kemudian melepaskan tembakan di sekitar Creggan. Salah satu tembakannya menewaskan McKee, yang kemudian diidentifikasi sebagai wartawan yang kerap menulis untuk majalah The Atlantic ataupun Buzzfeed News.
Pada 2016 majalah Forbes menyebut McKee sebagai salah satu dari 30 sosok berpengaruh yang usianya di bawah 30 tahun. Menurut reporter Leona O’Neill dari Belfast Telegraph, dirinya berada di sisi McKee saat terjadi penembakan.
”Saya berdiri di samping perempuan ini ketika ia jatuh di samping mobil polisi. Saya memanggil ambulans, tetapi polisi membawa dia ke dalam mobil mereka dan melaju ke rumah sakit. Ia meninggal di sana. Usianya baru 29 tahun. Saya sangat sedih,” kata O’Neill melalui akun Twitter-nya.
Kerusuhan di Derry terjadi pada saat peringatan perlawanan terhadap pendudukan Inggris di Irlandia Utara tahun 1916. Kerusuhan seperti itu sudah pernah terjadi awal tahun ini dan otoritas keamanan menduga pelakunya sama, yaitu kelompok paramiliter Republiken yang kembali mengampanyekan Irlandia Utara lepas dari Inggris.
Wakil Ketua Partai Sinn Fein Michelle O’Neill mengecam keras insiden tersebut. Ia menyebut serangan itu ditujukan bagi komunitas ataupun pada Kesepakatan Jumat Agung. Kesepakatan damai itu ditandatangani pada 1998 dan mengakhiri perang sektarian (The Troubles) antara kubu yang menginginkan kemerdekaan Irlandia Utara dan kubu yang menginginkan kehadiran Inggris di wilayah itu. Konflik ini berlangsung selama tiga dekade dan merenggut 3.500 korban jiwa, kebanyakan adalah Tentara Republik Irlandia (IRA).
Saat ini, polisi menuduh kelompok baru IRA (New IRA) sebagai biang keladi sejumlah bentrokan. Sejumlah pihak mengkhawatirkan konflik ini terkait dengan krisis politik di Inggris akibat Brexit.
Kesepakatan Brexit yang ditandatangani UE dan Inggris menyebutkan, kedua pihak sepakat tidak akan menempatkan penjaga perbatasan antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia pasca-Brexit untuk menghormati perjanjian damai. Komitmen itu dinamai backstop. Namun, nasib Brexit masih belum jelas karena kesepakatan itu sudah tiga kali ditolak parlemen Inggris. (AFP/AP/MYR)