PARIS, SELASA —Presiden Perancis Emmanuel Macron segera mengumumkan kebijakan reformasi pemerintahannya sebagai jawaban atas aksi unjuk rasa ”rompi kuning” yang telah berlangsung selama lima bulan.
Macron yang melakukan jumpa pers pada Selasa (23/4/2019) malam waktu setempat berharap kebijakan reformasi ini akan meredam demonstrasi yang sudah memasuki pekan ke-22. Aksi unjuk rasa yang kerap diwarnai kekerasan itu memprotes ketidaksetaraan sosial dan menganggap Macron lebih mewakili kelompok elite.
Seharusnya Macron mengumumkan kebijakan ini pada 15 April lalu, tetapi hanya dua jam sebelum jumpa pers berlangsung Gereja Notre Dame Paris terbakar sehingga acara yang tadinya akan disiarkan secara nasional dibatalkan. Macron lalu memberikan pidato, tetapi hanya terkait insiden Notre Dame.
Persoalannya, media Perancis telah menerima bocoran teks pidato Macron secara lengkap sehingga apa yang akan diumumkan Macron dinilai sudah berkurang geregetnya. Selama ini Macron terbiasa mempersiapkan ”kejutan” (wow factor) dalam setiap pengumuman kebijakan pemerintah.
Menurut bocoran itu, Macron berencana menurunkan pajak bagi kelas menengah ke bawah. Dia juga berjanji akan mempertimbangkan kembali keputusannya yang tak populer, yaitu memotong pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi.
Macron juga berencana menutup sekolah administrasi ENA (Ecole Nationale d’administration) yang selama ini dianggap memasok kelompok ”elite” di Perancis, khususnya mereka yang mengejar karier di pemerintahan.
Tekanan
Gerakan rompi kuning yang dimulai November lalu saat Macron berencana menaikkan harga bahan bakar telah berlanjut menjadi gerakan protes rutin setiap akhir pekan.
Selama itu pula polisi antihuru-hara Perancis harus berhadapan dengan demonstran yang radikal yang dengan sengaja memancing bentrokan.
Menurut Associated Press, sejumlah demonstran Sabtu lalu dengan sengaja meneriakkan ”bunuh dirimu” kepada petugas keamanan. Hal itu terkait dengan pengumuman kepolisian bahwa dua petugas keamanan pekan lalu bunuh diri. Ada kemungkinan petugas keamanan mengalami tekanan dan kelelahan setelah didera demonstrasi sejak lima bulan lalu.
Pengumuman kebijakan reformasi Macron dinilai akan berpengaruh pada karier politiknya. Macron yang akan kembali bertarung pada pemilu 2022 tak ingin bernasib seperti dua pendahulunya, yaitu Nicolas Sarkozy dan Francois Hollande, yang hanya memimpin selama satu periode.
Macron yang berambisi untuk memodernisasi Perancis telah memperlihatkan bahwa ia ingin tampil sebagai lokomotif Uni Eropa. Apalagi mengingat Kanselir Angela Merkel sudah mulai menepi, sementara Perdana Menteri Inggris Theresa May masih terus disibukkan oleh urusan Brexit.
Popularitas Macron yang pernah mencapai 60 persen ketika ia menjadi presiden kini anjlok hampir separuhnya.