China Akan Menetralkan Tekanan AS
China akan menjadi salah satu negara yang menetralkan tekanan Amerika Serikat terhadap Iran. Sebagaimana diketahui, AS merencanakan penghentian ekspor minyak Iran ke seluruh dunia. Akan tetapi, tekanan AS terhadap Iran ini tidak akan terealisasi. China ada di lini terdepan yang memandulkan tekanan AS.
Pihak lain yang kemungkinan secara psikologis akan turut menetralkan tekanan AS adalah Uni Eropa. Kawasan ini sudah bersungut-sungut tentang sikap AS yang mundur dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dicapai pada 2015. Eropa akan mengakali cara bertransaksi dengan Iran supaya tidak menjengkelkan AS.
Namun, China, sekali lagi, ada di urutan terdepan sebagai penentang. Ada beberapa alasan logis mengapa China tidak suka dengan sikap AS. Pertama, China sejak lama membenci tekanan unilateral yang dilancarkan AS terhadap negara mana pun. Dunia bukan hanya milik AS, tetapi dunia dimiliki bersama dengan keharmonisan dan saling memakmurkan. China kukuh soal ini, seperti disampaikan Presiden China Xi Jinping dalam berbagai forum internasional. Karena itu, sanksi oleh AS terhadap Iran akan menjadi sarana bagi China untuk melawan.
Kedua, China harus ditanyakan tentang sanksi multilateral. Tidak ada kategori multilateral dalam hal ini, tetapi semata-mata aksi unilateral oleh AS. China pasti akan melawan unilateralisme. China selalu menekankan multilateralisme yang juga harus didiskusikan bersama.
Faktor lain, China merupakan salah satu importir terbesar minyak dari Iran. China dengan perekonomian besar dan terus menggelinding justru ingin membangun dunia dengan kepastian. Sanksi AS terhadap Iran akan menciptakan ketidakpastian.
China pasti akan melawan. Hal seperti ini sudah jelas saat AS mundur dari perjanjian nuklir dengan Iran. China langsung mengirimkan kereta api kargo ke Teheran persis saat AS menyatakan mundur dari perjanjian nuklir pada November 2018.
Baca juga:
Populisme, Keteledoran, dan Gengsi Penyebab Resesi
Gaya ”Gangster” Akan Menemui Kegagalan
Psikologi global pun sudah agak muak pada perangai Presiden AS Donald Trump, yang kini sedang menjadi bulan-bulanan di dalam negeri. Trump bukanlah tipe pemimpin AS yang disukai dunia. Setiap tindakan Trump lebih banyak mengernyitkan dahi dunia ketimbang menyenangkan.
Hal lain, perekonomian global juga sedang menurun soal volume perdagangan. Ini jelas dinyatakan Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Roberto Azevedo dan juga Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde. Pengenaan sanksi AS atas Iran dengan demikian tidak terlalu pas untuk kepentingan global. Ini mirip dengan menyirami minyak ke bara yang sedang membakar ekonomi, termasuk akibat proteksionisme oleh AS.
Jawaban China
Atas dasar itu, China dengan jelas menyuarakan perlawanan seperti dituliskan di situs harian China Daily edisi 23 April 2019. Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, Selasa (23/4/2018), menyatakan agar AS tidak melakukan langkah yang mencederai kepentingan China.
Geng menegaskan Beijing dengan kukuh menentang sanksi unilateral AS. China menuduh AS telah melanggar yurisdiksi dan mengganggu niat komunitas internasional, termasuk China, yang mencoba melakukan kerja sama energi dengan Iran. China menegaskan, kerja sama ini berada dalam koridor hukum internasional, oleh karena itu harus dihormati dan dilindungi.
Sanksi AS atas Iran jelas menciptakan gangguan pada pasaran minyak global. (Geng Shuang, Jubir Kementerian Luar Negeri China)
China, lanjut Geng, akan mengamankan kepentingan perusahaan negaranya yang sah secara hukum dalam berbisnis dengan Iran. Sanksi AS atas Iran, lanjut Geng, juga jelas menciptakan gangguan pada pasaran minyak global. Geng menambahkan, langkah AS tidak hanya merugikan kepentingan China, tetapi juga dunia.
Geng mengatakan, Iran adalah salah satu sumber impor minyak yang penting dan berkontribusi pada kestabilan pasar minyak dunia. ”AS harus memainkan peran lebih konstruktif untuk stabilisasi pasar dengan perilaku yang tepat,” kata Geng.
Tindakan AS terhadap Iran akan menambah deretan kontes adu kekuatan China-AS dalam persaingan geopolitik. Ini kepentingan individu negara, termasuk soal siapa penentu paling utama di dunia. ”Sanksi Iran akan menjadi tantangan besar dalam relasi China-AS,” kata Jason Bordoff, Direktur Center on Global Energy Policy di Columbia University. Bordoff juga mantan penasihat Presiden Barack Obama.
Ketegasan baru AS
AS telah memberikan pengecualian pada delapan negara saat November 2018 menekan Iran lewat embargo ekspor minyak Iran. Delapan negara, termasuk China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Turki, diberi waktu enam bulan untuk melakukan penyesuaian sejak November itu agar menghentikan impor minyak dari Iran.
Pada Senin (22/4/2019), Trump memutuskan tidak memberikan pengecualian terhadap negara mana pun. Ekspor minyak Iran harus nol. ”Keputusan ini bermaksud menghentikan ekspor minyak Iran,” demikian pernyataan Gedung Putih.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo juga menegaskan pelarangan ekspor minyak Iran dimulai pada 2 Mei 2019. Gedung Putih menyatakan bahwa AS, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab akan mengambil langkah untuk mengompensasi penghentian ekspor minyak Iran.
Menteri Perminyakan Arab Saudi Khalid al-Falih mengatakan, negaranya akan berkoordinasi dengan sejumlah penghasil minyak dunia untuk menjamin pasokan minyak dunia. Diperkirakan, Iran mengekspor minyak sejuta barel per hari, turun dari 2,5 juta barel per hari sebelum November 2018.
Sanksi sepihak AS terhadap Iran juga berlaku untuk penghentian kegiatan perbankan global dan angkutan perkapalan dengan Iran. Sanksi ini harus dilakukan semua negara dan jika melawan akan menghadapi sanksi dari AS. Sanksi apa yang akan dikenakan AS, jelas merupakan hal yang buram dan tak berkemampuan apa pun.
India menolak
China tidak sendirian tentang opini menentang AS. Barbara Slavin, Direktur Atlantic Council’s Future of Iran Initiative, Senin (22/4), menyatakan, keputusan AS kontra-produktif karena tidak akan bisa membawa Iran ke meja perundingan soal perjanjian nuklir.
Axel Goethals, pimpinan European Institute for Asian Studies, menyatakan langkah baru, ”doktrin Trump” dilakukan dengan memikirkan kepentingan sekutu terdekatnya, yaitu Arab Saudi. Atau bisa juga tindakan ini memunculkan dugaan demi kedekatan AS dengan Israel, tetapi merugikan pihak lain termasuk China.
Turki juga turut menentang tindakan AS. Menlu Turki Mevlut Cavusoglu pada Senin lalu menyatakan, sanksi AS tidak bagus untuk perdamaian regional dan juga akan merugikan kepentingan rakyat Iran. ”Turki menolak tindakan unilateral,” ujarnya.
Atas dasar ini, para pengamat juga menyatakan AS tidak akan berhasil. ”Ekspor Iran tidak akan pernah mencapai level nol,” demikian pernyataan sebuah perusahaan konsultan, Eurasia Group, Senin. ”China yang mengimpor 500.000 barel per hari … tidak akan tunduk,” demikian Eurasia Group.
Analis dari SEB, Bjarne Schieldrop, Selasa (23/4/2019), bahkan lebih ekstrem. ”China malah akan mudah menaikkan impor menjadi satu juta barel per hari … dan akan mendekatkan Iran ke China,” kata Schieldrop.
Eurasia Group menyebutkan juga bahwa India akan mengambil langkah serupa dengan China. Setelah China, India adalah importir minyak terbesar kedua asal Iran.
Jubir Kementerian Luar Negeri India mengatakan bahwa Pemerintah India akan melanjutkan pembicaraan dengan mitra internasional, termasuk AS, untuk mengamankan kepentingan pengamanan energi India.
Iran sendiri berang dengan tindakan AS. Negara ini mengancam akan menutup Selat Hormuz, yang jika hal itu dilakukan akan mirip dengan sabotase sebagian kegiatan perekonomian dunia. ”Dalam menghadapi ancaman, kami tidak akan segan melindungi dan mempertahankan perairan Iran,” kata Alireza Tangsiri, Kepala Angkatan Laut Garda Revolusi Iran.
Tanpa ancaman Iran itu pun AS memang akan gagal menghentikan ekspor minyak Iran. Para pakar AS menegaskan, embargo AS atas Iran, yang mewajibkan semua negara tunduk, akan mengganggu pasokan minyak dunia.
Akhir kata, AS tidak sekuat dulu lagi di mata dunia. AS di bawah Trump, kini juga bukan negara yang memiliki wibawa besar seperti tahun-tahun sebelumnya. Maka, siapalah AS sekarang ini sehingga bisa begitu menekan banyak negara untuk tunduk, apalagi dengan kebijakan internasionalnya yang tidak padu dengan keinginan para sekutunya? (AP/AFP/REUTERS/MON)