Jakarta, kompas— Dua perempuan warga negara Indonesia dibebaskan dari hukuman mati di Arab Saudi terkait kasus tuduhan praktik sihir terhadap majikan mereka di negara itu. Keduanya tiba di Jakarta, Rabu (24/4/2019) siang.
Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel mengatakan, Sumartini binti Manaungi Galisung dan Warnah binti Ni’ing divonis mati pada 2010. Mantan majikan perempuan asal Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat secara berurutan itu menuduh mereka mempraktikkan sihir.
Di Arab Saudi, sihir adalah kejahatan berat dengan ancaman hukuman mati. ”Setelah berbagai upaya, mereka akhirnya dibebaskan pada 2018,” kata Agus dari Riyadh, Arab Saudi.
Meski sudah dibebaskan pengadilan, mereka belum keluar dari tahanan. Sebab, keluarga mantan majikan mereka terus berusaha agar kedua perempuan itu dihukum. Gubernur Riyadh Pangeran Faisal bin Bandar al-Saud mengeluarkan surat keputusan pembebasan mereka pada 21 April 2019. Setelah surat itu keluar, Kedutaan Besar RI di Riyadh mengurus pemulangan mereka.
”Sampai detik terakhir jelang mereka pulang, keluarga mantan majikan masih terus berusaha menghalangi,” ujar Agus.
Sumartini dan Warnah meninggalkan Riyadh pada Selasa malam dan tiba di Jakarta pada Rabu siang. Kementerian Luar Negeri menyerahkan mereka kepada keluarga masing-masing pada Rabu sore di Jakarta.
Sejak 2011, ada 104 WNI divonis mati di Arab Saudi. Pemerintah telah membebaskan 87 orang. Sementara 11 orang masih dalam proses hukum, sisanya telah dieksekusi mati.
Eksekusi massal
Nasib Sumartini dan Warnah lebih baik dibandingkan 37 warga Saudi. Mereka dieksekusi mati, Selasa (23/4), karena didakwa terlibat terorisme. Eksekusi digelar di Riyadh, Mekkah, Madinah, dan Qassim.
Dalam pernyataan resminya, Pemerintah Arab Saudi menyebut para terpidana mengadopsi pemikiran ekstremis dan membentuk sel teror yang mengganggu keamanan. Sepanjang tahun 2019, sudah 100 orang dieksekusi Saudi. Pada 2018, Arab Saudi mengeksekusi mati 149 orang.
”Saya sangat mengecam eksekusi massal yang mengejutkan ini. Hal yang paling menyedihkan adalah tiga di antara terpidana masih di bawah umur saat divonis,” kata Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan HAM Michelle Bachelet.
Ia mendesak Riyadh segera mengkaji ulang peraturan terkait pemberantasan teror dan mengubah peraturan agar tegas melarang hukuman mati untuk anak di bawah umur.
Lembaga Amnesty International, Selasa malam, menyatakan, para terpidana mati itu divonis dalam ”pengadilan pura-pura”, termasuk sedikitnya 14 orang yang ambil bagian dalam unjuk rasa antipemerintah di Provinsi Timur yang kaya minyak tahun 2011-2012.
Dalam pernyataannya, lembaga yang bermarkas di London itu mengungkapkan, salah satu terpidana mati, Abdulkareem al-Hawaj, ditangkap saat berusia 16 tahun. Hal ini, kata Amnesty, ”pelanggaran terang- terangan atas hukum internasional”. Ditambahkan, ke-11 terpidana mati itu didakwa menjalankan tindakan mata-mata untuk rival Arab Saudi, Iran, dan divonis mati tahun 2016.
Kantor pers Pemerintah Arab Saudi tak menjawab permintaan tanggapan oleh kantor berita Reuters untuk merespons pernyataan Bachelet dan laporan Amnesty. Otoritas di Riyadh menyatakan, para terpidana mati dieksekusi karena ”ideologi teroris ekstrem” yang mereka anut dan karena mereka ”membentuk sel-sel untuk mengganggu keamanan”, serta memicu kerusuhan sektarian.