JAKARTA, KOMPAS —Masih ada pekerjaan rumah terkait penentuan batas maritim Indonesia, terutama dengan 10 negara tetangga. Masih diperlukan cukup banyak waktu dan sikap kehati- hatian. Setidaknya, masih ada lima materi perundingan, di antaranya terkait zona ekonomi eksklusif yang sedang dibahas.
Salah satu faktor yang dipertimbangkan Indonesia dalam perundingan batas maritim adalah jumlah sumber daya yang berada di wilayah itu, seperti minyak, ikan, dan juga dari segi navigasi. ”Setelah mengumpulkan informasi itu, kita akan mengusulkan garis perbatasan yang bisa dijelaskan secara yuridis,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Damos Agusman ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Ada tiga jenis batas maritim yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yakni laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Sejak tahun 1969, Indonesia telah menyelesaikan 18 perjanjian perbatasan dengan delapan negara tetangga, yang sebagian besar meliput landas kontinen atau meliput dasar laut, sebab negara tidak mau ada konflik terjadi akibat penambangan minyak.
Terkait laut teritorial—selebar 12 mil laut dari garis pangkal—Indonesia masih menjalani perundingan dengan empat negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Papua Niugini, dan Timor Leste.
Terkait dengan ZEE—selebar 200 mil laut dari garis pangkal—Indonesia tengah berunding dengan sembilan negara terkait benturan klaim atas wilayah yang sama. Kesembilan negara itu adalah Australia, Filipina, India, Malaysia, Palau, Papua Niugini, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
Paling aktif
Saat ini kemampuan nelayan Indonesia makin meningkat. Mereka saat ini mulai beraktivitas di wilayah ZEE.
Peningkatan kemampuan itu menuntut dukungan dari negara, terutama penyelesaian segera tumpang tindih klaim atas wilayah ZEE. Di antara negara ASEAN, Indonesia merupakan negara paling produktif dalam menangani isu perbatasan.
Di wilayah yang batas maritimnya belum jelas, terutama di area di mana klaim teritorial sejumlah negara saling tumpang tindih, kegaduhan di antara negara terkait dalam mengelola sumber daya berpotensi terjadi. Sebaliknya, penegakan hukum, lebih mudah dijalankan apabila batas maritimnya jelas.
”Dengan batas yang jelas, penegakan hukum tidak problematik. Pengelolaan sumber daya pun tidak problematik. Kita, kan, memiliki cadangan minyak di wilayah perbatasan. Kalau batasnya jelas, kita lebih aman dan nyaman melakukan sesuatu di sana,” kata Damos.
”Kita juga lebih gampang menegakkan hukum untuk kejahatan transnasional dan perdagangan manusia, misalnya, karena jelas yurisdiksinya. Di area yang batasnya tak jelas, yurisdiksinya tak jelas,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, pekan lalu, menekankan pentingnya negosiasi dan menerapkan peraturan sementara (provisional arrangement) di antara negara yang klaim batas maritimnya saling tumpang tindih. Dalam peraturan itu, bisa diatur, misalnya, bagaimana memanfaatkan sumber daya yang berada di wilayah laut tersebut.
Hikmahanto mencontohkan, hingga saat ini, Indonesia dan Vietnam belum memiliki perjanjian batas ZEE ataupun peraturan sementara yang mengatur kegiatan di wilayah yang tumpang tindih itu.
”Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap ikan di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya,” kata Hikmahanto.
Dalam klaim tumpang tindih itu, kedua otoritas menyatakan diri berwenang melindungi wilayahnya atau kegiatan nelayan mereka. (AYU)