BANGKOK, KAMIS— Partai Palang Pracharat yang pro-militer menjajaki berkoalisi dengan partai-partai lain untuk mempertahankan pemimpin junta militer Prayuth Chan- ocha sebagai Perdana Menteri Thailand.
Palang Pracharat diperkirakan tak akan sulit membentuk pemerintahan yang baru mengingat partai ini hanya membutuhkan beberapa suara lagi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan memilih perdana menteri di bawah sistem pemilihan yang kompleks yang dibuat militer.
Yuttaporn Issarachai, dosen Sukhothai Thammathirat Open University, berpendapat, Palang Pracharat kemungkinan berkoalisi dengan partai Demokrat, Bhumjaithai, dan 11 partai kecil lainnya yang tak berafiliasi dengan militer ataupun Front Demokrasi, kumpulan beberapa partai yang menentang militer. Dengan skenario ini, kata Yuttaporn, ”Prayuth tentunya akan menjadi perdana menteri.”
Namun, dengan selisih jumlah kursi yang tipis di Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah cenderung akan berjalan tidak stabil.
Berdasarkan hasil pemilu yang diumumkan komisi pemilu, Rabu lalu, Partai Demokrat memiliki 52 kursi, dan Bhumjaithai 51 kursi. Artinya, tidak ada satu pun yang bisa mengungguli Palang Pracharat yang mempunyai 115 kursi. Di bawah sistem yang baru, diperlukan minimal 126 suara untuk memilih PM.
Jubir partai Demokrat, Thana Chiravinij, mengatakan, minggu depan pihaknya akan bertemu untuk menentukan apakah bergabung dengan koalisi Palang Pracharat dalam pemerintahan atau membentuk ”oposisi independen”.
Yang jelas, ujar Thana, Demokrat tidak akan bergabung dengan Front Demokratik karena dipimpin partai Pheu Thai yang pro-Thaksin.
Sementara itu, para pemimpin Front Demokratik mengancam akan menempuh jalur hukum karena sistem pemilihan dan Komisi Pemilihan Umum bias terhadap militer. Pejabat komisi pemilihan dan pengurus Palang Pracharat menyangkal tuduhan ini.
Front Demokratik terdiri atas tujuh partai dipimpin partai Pheu Thai yang loyal kepada mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang kini berada di pengasingan. Partai-partai pro-Thaksin telah memenangi setiap pemilu sejak tahun 2006, tetapi pemerintahan yang mereka bentuk selalu digulingkan secara legal ataupun melalui kudeta. Kudeta terakhir adalah intervensi militer tahun 2014 yang menggulingkan pemerintah yang dipimpin adik Thaksin, Yingluck Shinawatra.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Thailand mengumumkan hasil akhir pemilihan umum yang diadakan pada 24 Maret 2019. Tidak ada partai yang meraih suara mayoritas mutlak, dan ini kemungkinan memunculkan gugatan hukum.
Kegagalan komisi pemilihan menjelaskan secara jelas formula penghitungan perolehan kursi telah memicu kecurigaan. Komisi pemilihan telah mendapat kritik keras karena merilis perolehan suara pendahuluan yang tertunda dan membingungkan. Mereka dituduh berat sebelah kepada partai Palang Pracharat yang pro-militer.
Konstitusi yang baru di bawah pemerintahan junta militer menetapkan, 250 kursi senat ditunjuk langsung seluruhnya oleh junta, dan 500 kursi Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilu. Mereka itulah yang akan memilih perdana menteri.
Dengan demikian, dalam pemilihan perdana menteri yang memerlukan minimal 376 suara, Senat memiliki keunggulan awal karena mempunyai 250 kursi.
”Thailand tidak kembali menuju demokrasi,” ujar Titipol Phakdeewanich, Dekan Fakultas Ilmu Politik Universitas Ubon Ratchathani.