YANGON, RABU— Pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Myanmar memberikan pekerja kemanusiaan ”akses yang jelas dan berkelanjutan” ke Negara Bagian Rakhine, tempat pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak terjadi. Pertempuran itu telah menyebabkan hampir 33.000 warga, sejak tahun lalu, mengungsi dan membutuhkan bantuan.
Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, Ursula Mueller, mengatakan, pihak otoritas Myanmar menolak permintaannya memberikan bantuan yang dibutuhkan pengungsi.
”Kami perlu akses—jelas dan berkelanjutan—untuk menjangkau mereka yang membutuhkan bantuan,” kata Mueller kepada Reuters di akhir lawatan 6 harinya ke Myanmar, Selasa (14/5/2019).
”Apabila bantuan, termasuk klinik berjalan, tak bisa menjangkau masyarakat, mereka tidak memiliki akses pada layanan kesehatan, kebutuhannya tidak terpenuhi dan beberapa orang bisa meninggal.”
Belum ada tanggapan dari pihak pemerintah Myanmar atas persoalan itu. Rakhine telah menjadi sorotan dunia sejak tahun 2017 setelah sekitar 730.000 warga Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh saat terjadi konflik antara militer dan kelompok militan Rakhine.
Desakan PBB
Penyidik PBB menyerukan penuntutan atas perwira militer senior dengan tuduhan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran. Militer menyangkal telah melakukan tindakan tersebut.
Selama kunjungannya, Mueller bertemu dengan pejabat pemerintah senior di ibu kota negara, Naypyidaw, termasuk dengan penasihat negara Aung San Suu Kyi yang mengatakan dirinya bekerja untuk ”pembangunan dan kohesi sosial” di Rakhine.
”Saya menekankan kebutuhan bantuan kemanusiaan yang perlu segera dipenuhi,” kata Mueller.
Ia juga mengunjungi kamp- kamp di luar Sittwe di tempat ribuan warga Rohingya ditampung sejak kekerasan tahun 2012. Mayoritas tidak memiliki akses pada layanan dasar. Myanmar telah bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk menutup kamp pengungsian, membangun permukiman baru yang lebih permanen di lokasi yang sama.
Mueller menyatakan, pihaknya telah membahas strategi pembangunan pemukiman baru dengan otoritas Myanmar. ”Tidak cukup hanya mendirikan bangunan di lokasi yang sama tanpa mengatasi masalah mendasarnya. Orang tidak mempunyai kebebasan bergerak. Mereka kehilangan harapan setelah tujuh tahun berada di kamp.”