PBB Serukan Kepatuhan pada Hukum Kemanusiaan Internasional
Oleh
ADHITYA RAMADHAN, DARI NEW YORK, AS
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS — Warga sipil masih menjadi korban terbesar di wilayah konflik. Meskipun sebenarnya kerangka kerja normatif berdasarkan hukum internasional sudah kuat, implementasinya di lapangan justru kian memburuk.
Hal itu ditegaskan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dalam debat terbuka Dewan Keamanan (DK) PBB soal perlindungan warga sipil di wilayah konflik yang dipimpin Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Kamis (23/5/2019).
”Tantangan utama kita adalah memastikan penghormatan dan kepatuhan pada hukum kemanusiaan internasional,” kata Guterres.
Tahun 2019 ini merupakan momen istimewa karena menandai 20 tahun DK PBB mengadopsi perlindungan warga sipil sebagai agenda utamanya, sekaligus 70 tahun Konvensi Geneva 1949. Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam perlindungan warga sipil di wilayah konflik.
Misalnya, di Sudan Selatan, hampir 200.000 warga yang telantar kini hidup di penampungan. Di Afrika tengah, misi perdamaian PBB telah mendukung perdamaian yang dipantau oleh komponen sipil dan militer lokal. Monitoring dan pelaporan juga telah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan ribuan anak untuk kembali bersatu dengan keluarga mereka.
Akan tetapi, warga sipil tetap menjadi korban terbesar dalam konflik di berbagai belahan dunia. Di tahun 2018, PBB mencatat lebih dari 22.800 warga sipil telah meninggal dan terluka hanya di enam negara, yaitu Afghanistan, Irak, Mali, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman. Sementara perkembangan terakhir di Idlib, wilayah barat laut Suriah, gelombang serangan udara telah menghancurkan rumah sakit, pasar, sekolah, dan kamp pengungsi.
Akses yang sulit ke daerah konflik telah menyulitkan bantuan kemanusiaan dan medis untuk menjangkau para korban. Kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan dan tenaga medis pun masih saja terjadi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, ada 705 serangan terhadap tenaga dan fasilitas kesehatan di delapan lokasi konflik. Akibatnya, 451 orang meninggal dan 860 orang terluka. Sebanyak 369 pekerja kemanusiaan diculik, terluka, atau meninggal. Warga sipil yang kelaparan digunakan sebagai metode berperang, begitu juga dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual.
Memburuk
Retno menambahkan, situasi yang ada saat ini tidak lebih baik daripada beberapa dekade yang lalu. Contohnya, pada 1999 terdapat 20-25 juta pengungsi dalam negeri (internal displaced person) akibat konflik. Jumlah itu justru naik menjadi 40 juta pada 2019 ini.
Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Peter Mauer menyatakan, keputusan setiap negara, termasuk DK PBB, akan sangat memengaruhi nasib warga sipil di wilayah konflik. Sayangnya, terkadang DK PBB pun absen dari konflik yang terjadi yang justru membuat warga sipil tidak terlindungi dengan baik.
ICRC memahami bahwa konsensus politik mungkin saja sulit dicapai. Namun, dukungan dan penghormatan terhadap hukum humaniter internasional dan kemanusiaan harus tetap dipatuhi. Semua warga sipil tak terkecuali harus mendapat perlindungan.
Semua warga sipil tak terkecuali harus mendapat perlindungan.
Seiring dengan perang yang terjadi di wilayah padat penduduk dan berlarut-larut serta kelompok bersenjata yang terus bertambah, kebutuhan akan perlindungan warga sipil juga terus meningkat. Untuk menghadapi dinamika konflik yang terus berubah, hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia harus tetap menjadi landasan berpijak.
Oleh karena itu, ICRC menyerukan negara-negara untuk memprioritaskan perlindungan warga sipil, menegakkan hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional, serta menerapkan standar yang tinggi dalam pencegahan peredaran senjata.
Ubah pola pikir
Mauer juga mengingatkan bahwa pola pikir korban dalam melihat warga sipil harus diubah. Negara kini harus memahami bahwa masyarakat dan komunitas adalah juga agen perlindungan yang mengerti betul situasi mereka sendiri. Mereka memiliki kebutuhan, tetapi mereka juga memiliki keterampilan individual, kapasitas, dan ketahanan yang luar biasa.
Federico Borello, Direktur Eksekutif Center for Civilians in Conflict (CIVIC), menegaskan, warga sipil bukanlah ”kerusakan tambahan” dalam sebuah konflik. Mereka layak mendapat pengakuan, terutama di wilayah konflik. Karena itu, mereka yang berperang harus memisahkan warga sipil dari kemungkinan dampak buruk yang terjadi.
Situasi yang ada sekarang bukanlah tanpa harapan. Namun, diperlukan aksi yang nyata dari DK PBB, PBB, dan semua negara untuk melindungi warga sipil dalam konflik.