Etiopia Inginkan Lebih Banyak Investasi dari Indonesia
Etiopia ingin lebih banyak investasi dari Indonesia. Banyak potensi yang bisa digarap dari negara yang berada di Tanduk Afrika itu.
Oleh
A Ponco Anggoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Etiopia ingin lebih banyak investasi dari Indonesia. Banyak potensi yang bisa digarap dari negara yang berada di Tanduk Afrika itu. Etiopia pun disebut memiliki masa depan yang cerah dengan stabilitas politik, perekonomian yang terus meningkat, dan potensi pasar yang besar.
Hingga kini, berdasarkan data Kedutaan Besar Republik Indonesia di Etiopia, baru ada lima perusahaan dari Indonesia yang berinvestasi dan beroperasi di Etiopia. Kelimanya adalah PT Indofood (produksi mi instan), PT Sinar Antjol (sabun dan detergen), PT Bukit Perak (sabun dan detergen), Busana Apparel Group (garmen), dan PT Sumber Bintang Rejeki (garmen).
Padahal, menurut Duta Besar Etiopia untuk Indonesia Admasu Tsegaye kepada Kompas, pertengahan Mei 2019, masih banyak potensi yang bisa digali oleh perusahaan-perusahaan Tanah Air.
Potensi itu ada di tujuh sektor, yaitu energi, farmasi, agroindustri, tekstil, hortikultura, kulit, dan pariwisata.
Di sektor tekstil, misalnya, sejak 2008, industri tumbuh tujuh kali lipat. Kemudian satu dekade terakhir, ekspor tekstil meningkat tajam. Sejumlah merek global terkemuka seperti H&M, PVH, serta Wuxi dan Sunshine sudah berinvestasi di Etiopia.
Selain itu, ada lebih dari 3,2 juta hektar lahan yang cocok untuk budidaya kapas. Dari jumlah itu, tidak sampai 10 persen yang telah dimanfaatkan.
Dengan areal yang ada, potensi produksi kapas bisa sebesar Pakistan, negara keempat terbesar penghasil kapas. Sementara dari sisi akses pasar, AS telah mengimpor 40 persen produk tekstil Etiopia, sedangkan Inggris 10 persen.
Tak hanya itu, ada dua kawasan industri yang khusus untuk tekstil, yaitu Hawassa dan Bole Lemi. Tiga lainnya, yaitu Mekelle, Kombolcha, dan Adama, menunggu waktu beroperasi. Kawasan-kawasan industri berada di posisi strategis, di koridor utama perdagangan dan perekonomian.
Agar investor tertarik, Pemerintah Etiopia menyediakan banyak insentif. Selain itu, investor dimudahkan dengan fasilitas perizinan satu atap. Dengan demikian, investor cukup datang ke satu tempat untuk mengurus seluruh perizinannya.
Hal lain yang bisa membuat investor tertarik, menurut Admasu, adalah stabilitas politik, perekonomian dan infrastruktur yang tumbuh pesat, sumber daya manusia yang mumpuni, serta potensi pasar yang besar.
Di sektor politik, sejak Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed menjabat 2 April 2018, reformasi terus dilakukan. Institusi-institusi demokrasi, misalnya, diperkuat.
Dia juga membuka komunikasi dengan pihak-pihak yang sebelumnya beroposisi dengan pemerintah dan memilih mengasingkan diri di luar negeri. Selama kepemimpinannya, tokoh-tokoh oposisi bisa kembali ke Etiopia. Tak hanya itu, tahanan-tahanan politik juga dibebaskannya.
Stabilitas politik berjalan seiring dengan fokus Abiy untuk terus meningkatkan perekonomian Etiopia.
Sejak 2006/2007 hingga 2016/2017, pertumbuhan ekonomi Etiopia meningkat pesat, dengan rata-rata 10,3 persen setiap tahun. Jauh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kawasannya yang hanya 5,4 persen.
Untuk menjaga perekonomian terus tumbuh, reformasi di sektor ekonomi terus dilanjutkan. Abiy memimpin langsung reformasi, dan secara berkala, setiap pekan, rapat dengan instansi-instansi terkait untuk mencari cara menggenjot perekonomian dan masalah-masalah yang menghambatnya.
Pembangunan infrastruktur juga masih jadi fokus pemerintah. Pembangunan jalan, jalan tol, bandara, hingga pembangunan bendungan untuk memasok kebutuhan listrik negara tersebut.
Populasi Etiopia yang besar, sebanyak 108 juta orang atau kedua terbesar di Afrika setelah Nigeria, juga bisa menjadi daya tarik lain bagi investor. Populasi yang besar otomatis menjadikan Etiopia sebagai pasar yang potensial.
Ditambah lagi, sebanyak 60 persen di antaranya berusia produktif, membuat perusahaan tak akan kesulitan mencari tenaga kerja. Apalagi upah buruh Etiopia masih rendah.
”Kami belum menerapkan upah minimum. Rata-rata upah buruh setiap bulan di bawah 70 dollar AS (sekitar satu juta rupiah),” ujar Engidu Tsegaye, dari bagian pelayanan pelanggan di Kawasan Industri Bole Lemi, saat Kompas ke Etiopia atas undangan Kedutaan Besar Etiopia di Indonesia, April 2019.
Dengan potensi-potensi yang ada, Admasu melanjutkan, investor dari sejumlah negara sudah banyak yang masuk menanamkan modalnya di Etiopia. Mayoritas datang dari China.
”Negara kami memiliki masa depan yang cerah,” kata Admasu.
Sektor perdagangan
Selain investasi, sektor perdagangan juga masih bisa digali.
”Selama ini, ekspor dari Indonesia mendominasi dibandingkan impor dari Etiopia. Produk-produk ekspor yang terutama adalah kelapa sawit dan turunannya, produk-produk yang terbuat dari kertas, garmen, dan alat-alat listrik. Baru-baru ini ada juga impor produk ban dari Indonesia,” tutur Duta Besar Indonesia untuk Etiopia, Djibouti, dan Uni Afrika Al Busyra Basnur saat ditemui di Addis Ababa, pertengahan April 2019.
Dikutip dari Trading Economics, impor utama Etiopia adalah bahan makanan, tekstil, mesin, dan bensin.
Partner dagang utama Etiopia adalah China, sebesar 18 persen dari total impor, kemudian Arab Saudi (13 persen) dan Amerika Serikat (9 persen).
Dikutip dari situs resmi Kementerian Perdagangan, total perdagangan Indonesia-Etiopia pada 2018 sebesar 85.319.100 dollar AS atau setara sekitar Rp 1,227 triliun. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya yang besarnya 68.477.700 dollar AS atau sekitar Rp 985 miliar.
Dari total perdagangan pada 2018, Indonesia mencatatkan surplus. Nilai ekspor Indonesia lebih besar dari impor, yaitu ekspor sebesar 47.880.100 dollar AS atau sekitar Rp 688,81 miliar, sedangkan impor, 37.439.000 dollar AS atau sekitar Rp 538,604 miliar. Tak hanya pada 2018, tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga selalu surplus dalam berdagang dengan Etiopia.