Tolak Tekanan China Memulangkan Uighur, Kazakhstan Dipuji AS
AS mengapresiasi sikap Kazakhstan yang menolak tekanan China untuk memulangkan warga Uighur di Xinjiang, wilayah barat China, yang kabur ke negara tersebut. Kazakhstan sebenarnya dalam posisi sulit saat kasus pelanggaran HAM terjadi di Xinjiang.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amerika Serikat mengapresiasi sikap Pemerintah Kazakhstan yang menolak tekanan China untuk memulangkan warga Uighur di Xinjiang, wilayah barat China, yang kabur ke negara tersebut. Amerika Serikat pun mendorong negara lain bersikap seperti Kazakhstan.
"Kami mendesak negara lain untuk menyediakan perlindungan yang sama, untuk memungkinkan mereka mengakses suaka, dan membolehkan mereka melakukan perjalanan ke negara ketiga yang mereka pilih, seperti yang dilakukan Kazakhstan," kata David Ranz, diplomat Amerika Serikat (AS) yang mengurusi wilayah Asia Tengah.
Dia menyampaikannya saat berbicara di sebuah simposium yang diselenggarakan oleh kelompok hak asasi manusia (HAM) pembela Uighur dan Universitas George Washington, di Washington, Kamis (6/6/2019) waktu setempat. Simposium mengangkat persoalan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Uighur di Xinjiang.
Deputi Asisten Sekretaris Negara AS ini bahkan mengucapkan terima kasih atas sikap Pemerintah Kazakhstan tersebut.
Kazakhstan yang memiliki hubungan erat dengan China dan AS, sebenarnya berada dalam posisi sulit saat pelanggaran HAM terjadi di Xinjiang.
Pasalnya, sekitar 1,5 juta etnik Kazakh kini tinggal di Xinjiang. Mereka keturunan dari masyarakat Kazakh yang kabur dari Uni Soviet untuk menghindari wajib militer secara paksa di akhir pemerintahan Tsar. Apalagi, tak sedikit dari etnik Kazakh di Xinjiang yang kabarnya telah ditahan oleh China.
Sementara di sisi lain, Kazakhstan ingin ambil bagian dalam prakarsa sabuk dan jalan yang dinisiasi oleh China. Negara tersebut selama ini mempromosikan diri sebagai bagian penting dari proyek bernilai triliunan dollar AS itu.
Walaupun Kazakhstan telah mengizinkan Uighur yang mayoritas beragama Islam melakukan perjalanan, tahun lalu negara itu menolak memberikan suaka kepada Sayragul Sauytbay, perempuan etnik Kazakh yang "diburu" oleh China karena mengungkap kamp-kamp reedukasi di Xinjiang.
Salah satu panel di Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan lebih dari satu juta Uighur ditahan di kamp-kamp itu. Amerika Serikat menyamakan penahanan yang masif itu dengan kamp konsentrasi Nazi Jerman.
Aktivis HAM pembela Uighur menyebut, di kamp-kamp itu, orang Uighur didorong untuk meninggalkan agama mereka, Islam sedangkan China menyebut, kamp merupakan tempat untuk mencegah radikalisme.
Diberitakan Kompas sebelumnya, Xinjiang adalah rumah bagi 10 juta warga Uighur yang umumnya Muslim. Mereka menyandang stigma ganda, yakni minoritas dari sisi etnis dan agama di China.
Otoritas Xinjiang disebut telah mengesahkan pengiriman warga Uighur ke ”pusat-pusat pelatihan kejuruan” (vocational training centers). Fasilitas itu digunakan untuk ”mendidik dan mengubah” warga yang terjangkiti ideologi ekstrem. Peresmian pusat pelatihan itu menguatkan dugaan lama Uni Eropa dan AS tentang praktik penahanan paksa warga Uighur. Barat menamai ”pusat-pusat pelatihan kejuruan” itu sebagai ”kamp-kamp tahanan paksa”.
Terlepas dari sikap AS yang memuji Kazahkstan, di negaranya sendiri, AS justru menutup pintu bagi pencari suaka dari negara-negara di kawasan Amerika Tengah. Mereka seperti diketahui, lari dari kekerasan yang terjadi di negaranya.
Untuk menghentikan laju para pencari suaka yang masuk melalui Meksiko itu, Presiden Donald Trump mengancam Meksiko memberlakukan tarif impor untuk seluruh barang-barang Meksiko. (AFP)