SEOUL, RABU— Setahun setelah pertemuan puncak pertama Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, mayoritas publik di negara-negara yang memiliki kepentingan langsung menilai hubungan AS dan Korea Utara belum membaik secara signifikan. Kebuntuan dalam pembahasan denuklirisasi menjadi buktinya.
Setelah saling mengancam, Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bertemu pertama kali di Singapura pada 12 Juni 2018. Namun, negosiasi penghentian program nuklir dan rudal Korea Utara itu terhenti menyusul gagalnya pertemuan puncak keduanya di Hanoi, Vietnam, 28 Februari 2019.
Dalam sebuah jajak pendapat yang disponsori Korea Foundation-Vrije Universiteit Brussel (KF-VUB) Korea Chair yang dirilis kepada Reuters, mayoritas responden di AS, Jepang, dan Rusia menyatakan, hubungan antara Washington dan Pyongyang saat ini tak berubah dari tahun lalu. Bahkan, 30 persen responden AS dan 27 persen responden Jepang menilai hubungan AS-Korut justru memburuk. Namun, sebaliknya, responden China menyebutkan hubungan keduanya telah meningkat.
Hasil itu meneguhkan persepsi umum bahwa tidak ada opsi yang jelas untuk mencari terobosan.
Jajak pendapat itu dilakukan Ipsos MORI dengan mewawancarai 1.000 warga AS, China, Jepang, dan Rusia selama dua minggu sejak akhir Mei.
”Fakta bahwa tidak ada kesepakatan yang dicapai di Hanoi telah berdampak negatif pada pandangan publik terhadap proses diplomasi dengan Korea Utara,” kata Ramon Pacheco Pardo dari KF-VUB Korea Chair yang mengarahkan jajak pendapat itu.
”Publik di negara yang disurvei menanti apakah ada kesepakatan dicapai atau sebaliknya justru negosiasi gagal.”
Lebih dari separuh responden AS dan Jepang yakin bahwa sanksi harus diberlakukan bersamaan dengan proses dialog ketika berhadapan dengan Korea Utara.
Sebaliknya, diplomasi menjadi pilihan populer bagi 69 persen responden Rusia. Sementara 43 persen responden China memilih fokus pada diplomasi atau pendekatan diplomasi dan sanksi.
Pemerintahan Trump sendiri memberikan ”tekanan maksimal” terhadap Korea Utara dan mendesak adanya peta jalan komprehensif untuk menghentikan program nuklirnya selamanya.
Namun, Pyongyang yang didukung oleh Beijing dan Moskwa menuntut pencabutan sanksi sebagai imbalan penghentian sebagian program nuklirnya.
”Jelas bahwa publik China tidak berada di pihak Korea Utara dan sebenarnya memiliki pendekatan bernuansa terhadap tetangga mereka,” kata Pacheco yang juga mengajar hubungan internasional di King’s College, London, itu.
”Publik sepertinya yakin Trump adalah kunci untuk mengatasi kebuntuan ini sebab Trump dan AS memiliki kekuatan yang menentukan untuk menjatuhkan sanksi atau menempuh jalur diplomasi atau justru keduanya.”
Pertemuan
Pada Selasa (11/6/2019), Trump mengatakan, dirinya menerima ”surat indah” dari Kim. ”Saya tentu tidak bisa menunjukkan suratnya, tetapi surat itu sangat personal, sangat hangat, surat yang sangat indah,” kata Trump kepada wartawan di luar Gedung Putih.
Trump mencoba menjadikan apa yang ia sebut sebagai hubungan personal yang hangat dengan Kim sebagai terobosan diplomasi dengan berulang kali mengatakan, Korea Utara memiliki ”potensi yang hebat”.
”Sesuatu yang sangat positif akan terjadi,” ujar Trump.
Sementara itu, media Pemerintah Korea Utara tidak menyebut apa pun soal surat dari Kim kepada Trump.
Menurut Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, pertemuan ketiga Trump-Kim mungkin saja terjadi. Sejauh ini AS tetap meneruskan ”kampanye maksimal menekan” Korea Utara karena Kim dinilai belum mengambil ”keputusan strategis untuk menghentikan program senjata nuklirnya”.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus, mengatakan, Korea Utara adalah ”salah satu tantangan keamanan nasional yang terberat”. Namun, para pejabat AS bekerja ”dengan tekun” menindaklanjuti janji Korea Utara untuk mengakhiri program senjata nuklirnya.
(REUTERS/ADH)