TOKYO, KAMIS— Dukungan perusahaan Jepang pada program perekrutan tenaga asing yang ditetapkan Pemerintah Jepang belum maksimal. Dari jajak pendapat Reuters terungkap, hanya satu dari empat perusahaan Jepang mendukung program yang diluncurkan sejak 1 April 2019 itu.
Kebijakan merekrut tenaga asing tersebut dikeluarkan Jepang untuk menarik hingga 345.000 pekerja asing pada 14 jenis lapangan kerja, seperti pendukung kedirgantaraan, konstruksi, pramuwisma dan perhotelan, perawatan pasien dan penduduk usia lanjut, pertanian, perikanan, galangan kapal, serta industri logam dalam lima tahun ke depan.
Kebijakan itu bagian dari upaya Jepang menyiasati kekurangan tenaga kerja yang diprediksi mencapai 930.000 orang hingga tahun 2025. Bahkan, jika jumlah lowongan kerja dibandingkan dengan jumlah pencari kerja, saat ini tersedia 1,63 lowongan untuk setiap pencari kerja di Jepang. Lowongan kerja lebih banyak dibandingkan pencarinya.
Kekurangan itu merupakan dampak peningkatan penduduk usia lanjut dan rendahnya angka kelahiran. Kondisi ini menyebabkan populasi Jepang menua dan kekurangan penduduk usia produktif.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri pada Kementerian Ketenagakerjaan Eva Trisiana menyatakan, kebijakan baru Pemerintah Jepang itu memberi peluang bagi tenaga kerja asal Indonesia.
Namun, dari jajak pendapat oleh Reuters yang dirilis pada Mei 2019, 41 persen perusahaan sama sekali tidak mempertimbangkan merekrut pekerja asing. Sebanyak 34 persen hanya mau merekrut sedikit, dan hanya 26 persen mau merekut pekerja asing.
Bahasa dan budaya
Perusahaan yang akan merekrut tak berencana membantu calon pekerja mendapatkan pelatihan bahasa atau mencari rumah. Perusahaan juga keberatan soal kemampuan bahasa, keterampilan yang tak sesuai kebutuhan perusahaan, biaya pelatihan, dan masa tinggal terbatas. ”Biaya semakin tinggi jika merekut pekerja asing gara-gara biaya pendidikan, risiko kualitas, dan potensi penghasilan,” kata salah satu manajer perusahaan pengolah karet.
”Kami dulu gagal merekrut pekerja asing yang tidak bisa membaur dengan kebudayaan lokal,” kata responden lain.
Eva mengatakan, persyaratan yang ditetapkan Jepang kompetitif. ”Selain keterampilan pada sektor yang dituju, juga faktor kecakapan bahasa dan pemahaman budaya Jepang,” ujarnya.
Karena itu, Indonesia akan memprioritaskan para mantan pekerja magang atau kenshusei untuk mengisi peluang itu. Para kenshusei tidak diharuskan lolos tes kecakapan bahasa dan pengetahuan budaya Jepang. Selama ini, banyak pemuda Indonesia mengikuti pelatihan kerja di berbagai sektor di Jepang. Setiap kenshusei rata-rata berada di Jepang hingga tiga tahun.
Saat ini, 19.000 WNI menjadi kenshusei di Jepang. Jumlah kenshusei Indonesia lebih rendah daripada negara lain. Kini terdapat 88.000 kenshusei dari Vietnam, China 81.000 orang, dan Filipina 23.000 orang. (REUTERS/RAZ)