Terpisah benua yang berbeda tak menghambat perdagangan antara Indonesia dan Etiopia. Nilai perdagangan setiap tahun terus meningkat dengan surplus di tangan Indonesia. Selain perdagangan, potensi masih bisa digali dari investasi.
Oleh
A Ponco Anggoro
·5 menit baca
Terpisah benua yang berbeda tak menghambat perdagangan antara Indonesia dan Etiopia. Nilai perdagangan setiap tahun terus meningkat dengan surplus di tangan Indonesia. Selain perdagangan, potensi masih bisa digali dari investasi.
Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) digelar di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955, Etiopia menjadi salah satu negara yang hadir. Sejak saat itu, komunikasi kedua negara terjalin hingga akhirnya, tahun 1961, kedua negara menjalin hubungan diplomatik. Tiga tahun berselang atau 1964, Indonesia lantas membuka kedutaan besar di Addis Ababa, ibu kota Etiopia.
”Dalam perjalanan sejarah, banyak perkembangan yang menguatkan hubungan kedua negara. Salah satu yang terus berkembang, kerja sama di sektor ekonomi,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Etiopia, Djibouti, dan Uni Afrika Al Busyra Basnur saat ditemui di Addis Ababa, beberapa waktu lalu.
Dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Afrika setelah Nigeria, Etiopia yang berpopulasi 108 juta jiwa memiliki potensi pasar besar.
Kemudian, selama sepuluh tahun, 2006/2007 hingga 2016/2017, pertumbuhan ekonomi Etiopia meningkat pesat, rata-rata 10,3 persen setiap tahun. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kawasan negara-negara di tanduk Afrika yang hanya 5,4 persen.
Dalam dua tahun terakhir, sekalipun pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 9,6 persen tahun 2018 dan diprediksi 8,5 persen (2019), angka itu masih lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi kawasan.
Selain itu, Etiopia dikenal sebagai pintu gerbang ke Afrika. Ini karena mayoritas negara di Afrika membuka kantor perwakilannya di Etiopia. Di negara itu pula, kantor sekretariat Uni Afrika berada. Uni Afrika merupakan organisasi internasional yang terdiri atas 54 negara di Afrika.
Dengan kata lain, jika produk tertentu dipasarkan di Etiopia, bukan tidak mungkin negara-negara lain di Afrika melirik dan tertarik membelinya.
Posisi Etiopia juga strategis. Berada di tanduk Afrika, lokasinya dekat dengan pasar di Timur Tengah.
Seluruh potensi yang ada, menurut Basnur, sudah lama dilihat para pengusaha Indonesia. Banyak pengusaha yang memasarkan produknya ke Etiopia. Nilai ekspor Indonesia pun surplus dibandingkan impor produk-produk Etiopia.
”Barang-barang Indonesia yang sangat laku di Etiopia seperti kelapa sawit dan turunannya. Kemudian produk dari bahan kertas, garmen, dan barang-barang seperti aki, baterai, dan alat-alat kelistrikan. Akhir-akhir ini, jenis barang yang diekspor dari Indonesia bertambah, yaitu ban mobil,” katanya.
Tak berhenti di sana, dia yakin potensi perdagangan ke Etiopia masih banyak yang bisa digali. Sebelum ditugaskan ke negara itu bulan lalu, misalnya, dia dihubungi banyak pengusaha Indonesia yang ingin membuka perdagangan ke Etiopia.
Selain di sektor perdagangan, investasi pun terbuka lebar. Hingga kini baru ada lima perusahaan Indonesia yang berinvestasi dan beroperasi di Etiopia. Kelimanya adalah PT Indofood (produksi mi instan), PT Sinar Antjol (sabun dan detergen), PT Bukit Perak (sabun dan detergen), Busana Apparel Group (garmen), dan PT Sumber Bintang Rejeki (garmen).
”Saya sudah bertemu pimpinan perusahaan itu. Mereka cerita, usaha mereka berkembang pesat di Etiopia karena besarnya pasar dan masih terbatasnya produk yang masuk,” ujar Basnur.
Sejumlah perusahaan bahkan belum mampu memenuhi permintaan pasar. ”Baru 35 persen yang bisa dipenuhi,” katanya.
Saling menguntungkan
Sekalipun investasi di luar negeri, bukan berarti hanya pengusaha atau Etiopia yang diuntungkan. Sebab, sebagian bahan baku produk masih harus didatangkan dari Indonesia. Itu artinya, investasi di luar negeri mendorong produksi bahan baku di Tanah Air yang otomatis berimplikasi pada perekonomian dan peningkatan kesejahteraan di Indonesia.
Deputi General Manager PT Indofood Etiopia (Salim Wazaran Yahya Plc) Adrianto Yuliar Salam membenarkan, sejak pabrik Indofood di Etiopia beroperasi pada Mei 2018, sebagian bahan baku masih didatangkan dari Indonesia. Bahan baku itu seperti bumbu serta kemasan mi dan bumbu.
”Produk lokal yang kami serap hanya tepung terigu untuk bahan baku mi karena banyak tersedia di Etiopia,” katanya.
Saat Indofood memutuskan investasi di Etiopia, dia pun tidak kesulitan untuk memperoleh perizinan yang disyaratkan. ”Ada panduan yang jelas dan kami dipandu saat memenuhi seluruh perizinan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Selain perizinan yang mudah, banyak hal lain yang membuat Indofood akhirnya memutuskan berinvestasi di Etiopia. Hal itu di antaranya pangsa pasar yang besar mengingat besarnya jumlah penduduk Etiopia, ekonomi yang terus tumbuh, gencarnya pembangunan infrastruktur, daya dukung listrik yang memadai, upah buruh yang rendah, kondisi politik yang stabil, dan keamanan yang kondusif.
Dia optimistis, jika kondisi itu terus dipertahankan oleh Pemerintah Etiopia, Indofood akan bisa balik modal dan meraup untung dalam waktu lima tahun ke depan.
Optimisme itu membuat Indofood bisa mengatasi setiap hambatan yang muncul. Hambatan itu seperti terbatasnya ketersediaan mata uang Etiopia dan pengalaman buruh bekerja di industri.
”Masyarakat semula bekerja di sektor pertanian, sebagai petani. Untuk membuat mereka bekerja di sektor industri, harus sabar mengajarinya. Tidak hanya mengajari mereka menguasai mesin-mesin yang ada, tetapi juga mengajari mereka agar bisa disiplin dalam waktu dan pekerjaan,” tuturnya.
Dengan berkaca pada Indofood dan empat perusahaan lain yang sudah berinvestasi di Etiopia, Al Busyra Basnur mengajak pengusaha-pengusaha di dalam negeri untuk melihat Etiopia dengan kacamata baru.
Tidak lagi Etiopia sebagai negara yang tidak ramah untuk investasi ataupun perdagangan, tetapi sebaliknya, melihat Etiopia sebagai harapan baru dalam mengekspansi pasar ke luar negeri.
Kalau masih tidak percaya, silakan datang dan lihat sendiri. ”Seeing is believing!” kata Al Busyra.