Negara Miskin dan Berkembang Pikul Beban Krisis Pengungsi
Oleh
·3 menit baca
GENEVA, RABU — Negara-negara miskin dan berkembang menanggung beban lebih besar atas krisis pengungsi dunia dibandingkan negara-negara Barat yang maju dan kaya. Negara-negara berkembang justru menjadi tempat untuk menampung sebagian besar dari 70,8 juta orang yang mengungsi akibat perang dan persekusi.
Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dalam laporan tahunannya, Global Trends, yang dirilis pada Rabu (19/6/2019), mengungkapkan setengah dari pengungsi dunia adalah anak-anak. Disebutkan, jumlah total pengungsi sepanjang tahun 2018 adalah yang tertinggi dalam kurun hampir 70 tahun.
Merujuk pada laporan itu, data jumlah pengungsi di dunia saat ini—terdiri dari 25,9 juta pengungsi, 41,3 juta orang yang terusir dari kampung halaman mereka, dan 3,5 juta pencari suaka—adalah angka yang ”konservatif”. Sebab, angka itu tidak termasuk sebagian besar dari 4 juta warga Venezuela yang mengungsi ke luar negeri sejak 2015. PBB memproyeksikan, jika arus pengungsian terus berlanjut, jumlah eksodus warga Venezuela bisa menembus 5 juta pada akhir tahun ini.
”Tentu saja jika situasinya tak diselesaikan secara politis di Venezuela melalui kesepakatan politik, kita akan melihat kelanjutan dari eksodus ini,” kata Filippo Grandi, Komisaris UNHCR, dalam pernyataan pers.
Laporan UNHCR juga mengungkapkan bahwa rakyat Venezuela, yang tiba terutama di Kolombia, Peru, dan Ekuador, membentuk aliran terbesar kedua pengungsian keluar negeri. Gelombang pengungsian terbesar pertama terjadi ketika sebagian warga Suriah melarikan diri ke Turki setelah perang selama delapan tahun.
Laporan itu menyebutkan, lebih dari dua pertiga pengungsi dunia berasal dari lima negara, yakni Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar, dan Somalia.
Sorotan pada AS
”Tidak benar kala Anda mengatakan Eropa mengalami kondisi darurat pengungsi, atau Amerika Serikat, atau Australia. Sebagian besar pengungsi sebenarnya (pergi dan berada) di negara sebelah tempat perang itu, dan sayangnya itu berarti sebagian besar di negara-negara miskin atau berpenghasilan menengah,” kata Grandi.
”Di situlah justru situasi krisis berada, di situlah kita perlu fokus,” tambah Grandi.
Disebutkan juga dalam laporan UNHCR bahwa langkah Presiden AS Donald Trump untuk mengurangi migrasi ilegal sepanjang perbatasan AS dengan Meksiko sebagai salah satu kebijakan yang menjadi perhatian PBB. Menurut Grandi, warga Amerika Tengah yang mencapai AS setelah melarikan diri dari kekerasan atau penganiayaan di Guatemala, Honduras, dan El Salvador berhak meminta suaka.
Grandi menegaskan, otoritas AS sendiri harus memeriksa secara adil atas orang-orang yang mengungsi itu dan tidak memisahkan anak-anak dari orangtua mereka. Badan-badan PBB terkait pengungsi siap membantu pihak berwenang AS mengatasi tantangan tersebut.
Dengan 254.300 klaim suaka yang diajukan pada 2018, AS adalah penerima aplikasi suaka terbesar di dunia. Grandi mengatakan, AS memiliki pekerjaan rumah besar, yakni 800.000 kasus yang harus diproses. Badan PBB dikatakan membantu Meksiko meningkatkan kapasitasnya untuk menangani pencari suaka.
Ditanya apakah kebijakan Trump telah membuat pekerjaan UNHCR lebih sulit, Grandi menjawab, ”Ini bukan hanya di AS, di Eropa juga, dan Australia. Ini adalah krisis solidaritas yang telah saya sebutkan. Kita mengidentifikasi pengungsi dan migran dengan masalah, bukan orang-orang yang melarikan diri dari masalah.”
Grandi menyebutkan, di Eropa masalah ini sangat dipolitisasi, membuat beberapa pemerintah ”takut” untuk berkomitmen membawa orang yang diselamatkan di laut setelah melarikan diri dari Libya atau zona konflik lainnya.