JAKARTA, KOMPAS —Komunitas masyarakat di Asia Tenggara masih meragukan manfaat proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang ditawarkan China. Karena itu, Beijing dinilai membutuhkan strategi baru dalam menyebarluaskan informasi seputar prakarsa tersebut.
Wakil Presiden Eksekutif China Institute of International Studies Ruan Zongze, Selasa (25/6/2019), di The Habibie Center, Jakarta, mengatakan, masih ada tudingan BRI adalah rencana besar China untuk menerapkan jebakan utang dan mengeksploitasi negara lain. Dalam kondisi itu, Beijing perlu menjawab tudingan negatif.
”Proyek BRI bertujuan mempromosikan kemitraan global dalam konektivitas. BRI bersifat terbuka, eksklusif, dan saling menguntungkan. Anda bisa keluar dari proyek, tetapi sejauh ini belum ada yang keluar,” kata Ruan dalam The Second Jakarta Forum on ASEAN-China Relations bertajuk ”ASEAN and BRI: Prospects for Common Development and Shared Prosperity”.
Menurut Ruan, China memandang penting untuk memperkenalkan BRI secara obyektif dan inovatif. Beijing juga berkomitmen memperkuat kolaborasi di antara pemangku kepentingan, melibatkan lebih banyak kerja sama rantai produksi global, menciptakan mekanisme pendukung jangka panjang, dan menyediakan lapangan pekerjaan berkualitas.
Konektivitas nonfisik
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B Hirawan, berpendapat, China harus menerapkan langkah lain untuk mempromosikan BRI di Asia Tenggara. Mayoritas anggota ASEAN masih berhati-hati menghadapi proyek BRI. ”China masih mengedepankan pembangunan konektivitas fisik dibandingkan nonfisik (soft connectivity). Padahal, seharusnya kebalikannya,” kata Fajar.
Menurut dia, China perlu meningkatkan terlebih dahulu interaksi antarwarga di antara China dan negara kawasan. Hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya antara lain mendorong pertukaran pelajar, membangun pusat belajar kebudayaan China di negara tujuan, dan mengadakan diskusi berkala. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih mengenal China dan tak bersikap antipati sebelum mengetahui manfaat BRI bagi pembangunan.
Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Yeremia Lalisang mengatakan, dari perspektif sejumlah pemangku kebijakan Indonesia, BRI merupakan proyek yang secara umum mempromosikan kepentingan China.
RI dan China sedang menggarap proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) rute Jakarta-Bandung.
Presiden China Xi Jinping meluncurkan BRI pada 2013 sebagai proyek interkoneksi multilateral yang akan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika. (LSA)