logo Kompas.id
InternasionalPermainan Berbahaya AS di...
Iklan

Permainan Berbahaya AS di Teluk

Hubungan antara AS dan Iran—dari kawan menjadi musuh—menjadi masalah keamanan internasional di Timur Tengah. Hal ini secara langsung dan tidak langsung akan berdampak pula terhadap situasi keamanan global.

Oleh
Trias Kuncahyono
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/e8KCp3UwxkfWuwgxgbOUPr6D4fQ=/1024x1196/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2Ftrias-kuncahyono-baru2012_1545311337-e1561452416555-10.jpg
INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, Wartawan Kompas 1988-2018

Beberapa waktu lalu, seorang diplomat senior Indonesia yang bertugas di sebuah negara kawasan Teluk mengabarkan lewat Whatsapp, ”AS ingin meningkatkan kehadiran militernya di kawasan Teluk. Baru saja diumumkan, Arab Saudi setuju penempatan tentara AS di Saudi. AS dan Inggris, sudah menumpuk kekuatan militer yang cukup di kawasan itu”.

Kabar lewat WA itu merupakan ungkapan keprihatinan terhadap perkembangan situasi krisis di kawasan Teluk, antara Amerika Serikat dan Iran. Ketegangan antara AS dan Iran saat ini memang semakin memuncak. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Apakah ketegangan akan berlanjut ke peperangan? Pertanyaan itu yang kini banyak dilontarkan meskipun sekarang situasinya sudah mulai menurun atau memang kurang mendapat perhatian.

Pertanyaan lainnya adalah apakah Presiden AS Donald Trump akan sebegitu gegabah mengobarkan peperangan sebagaimana kebijakan internasional gegabahnya selama ini? Apakah Trump tidak mau belajar sejarah tentang kegagalan AS di berbagai medan peperangan, mulai dari Vietnam, Afghanistan, hingga Irak?

https://cdn-assetd.kompas.id/UE1GNANqsHimSwrpThnqLocIcoQ=/1024x697/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2FTOPSHOT-US-MILITARY-NAVY_78537500_1558326417.jpg
AFP PHOTO/US NAVY

Foto yang dirilis Angkatan Laut AS pada 8 Mei 2019 memperlihatkan kapal induk kelas Nimitz, USS Abraham Lincoln (CVN 72), tengah melakukan pengisian kembali perbekalan dengan kapal pendukung USNS Arctic (T-AOE 9). AS meningkatkan kehadiran kekuatannya, termasuk kapal penyerang amfibi, rudal Patriot, dan pengebom B-52, di kawasan Teluk untuk menekan Iran.

Sepanjang kampanye presiden 2016, Donald Trump menjual kebijakan luar negeri Amerika Pertama (America First) kepada para pemilih dengan menjanjikan keamanan dan kemakmuran AS. Bersamaan dengan itu, Trump menyatakan bahwa ”prioritas nomor satu adalah untuk membongkar kesepakatan yang menghancurkan dengan Iran”.

Sejak menjabat sebagai presiden, Trump mengambil langkah-langkah untuk menghambat reintegrasi Iran ke dalam komunitas global. Dengan menandatangani setiap versi dari perintah pelarangan perjalanannya, pemerintah Trump secara eksplisit mengategorikan Iran dan orang Iran sebagai ancaman potensial terhadap keamanan nasional AS. AS juga telah mengemukakan banyak perselisihan kepatuhan dengan kesepakatan nuklir 2015—Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)—meskipun Iran telah melakukan observasi terhadap kesepakatan tersebut.

Krisis hubungan

Krisis diawali keputusan Presiden AS Donald Trump menarik dari kesepakatan JCPOA yang diumumkan 8 Mei 2018. Kesepakatan JCPOA ditandatangani China, Perancis, Jerman, Rusia, Inggris, serta AS (P5+1) dan Iran. Perjanjian tersebut menetapkan pencabutan sanksi terhadap Iran secara bertahap sebagai imbalan bagi Teheran yang mengendalikan program nuklirnya dan memungkinkan inspeksi untuk memastikan bahwa sifat program ini damai.

https://cdn-assetd.kompas.id/3TlY6HK397L61jn30y0aU-bNVQo=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2FDonald-Trump.jpg
AFP/SAUL LOEB

Presiden AS Donald Trump menandatangani dokumen yang berisi penerapan kembali sanksi terhadap Iran setelah mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) dengan Iran, di Gedung Putih, Washington, DC, pada Selasa (8/5/2018).

Tindakan Washington berlanjut dengan menerapkan sanksi ekonomi lagi pada Iran; mengerahkan kapal induknya, baterai pertahanan rudal, dan empat pengembom ke kawasan Timur Tengah. Sebagai unjuk keseriusannya, Washington juga mengevakuasi personelnya yang tidak penting dari kedubesnya di Baghdad, Irak.

Pada awal Mei, Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton secara terbuka mengancam terhadap setiap serangan dari Iran, ”Apakah dengan wakilnya, Garda Revolusi Iran, atau pasukan Iran reguler.”

Jika AS benar-benar mempersiapkan perang, aliran aset militer ke kawasan itu akan jauh lebih dramatis.

Akan tetapi, berita baiknya adalah meskipun ketegangan semakin meningkat, situasinya tidak separah yang terlihat. Tak satu pun dari para pemain tampaknya benar-benar menginginkan perang. Strategi militer Iran adalah untuk menjaga ketegangan tetap rendah dan menghindari konfrontasi langsung dengan AS. Washington melakukan postur keras di depan publik dengan penempatan pasukannya seperti yang dikabarkan diplomat di atas, tetapi langkah itu bukan konsekuensi atau sangat tidak biasa. Jika AS benar-benar mempersiapkan perang, aliran aset militer ke kawasan itu akan jauh lebih dramatis.

Hanya Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton yang secara terbuka mengancam membalas terhadap setiap serangan dari Iran. Bolton mengatakan, AS sedang mengerahkan kapal perang ke Timur Tengah untuk ”mengirim pesan yang jelas dan tidak salah” bahwa itu akan memenuhi setiap serangan Iran terhadap kepentingan AS ”dengan kekuatan yang tak henti-hentinya”. Washington ”tidak mencari perang” dengan Teheran, katanya, tetapi ”sepenuhnya siap untuk menanggapi” setiap serangan dari Iran atau kuasanya di wilayah tersebut.

https://cdn-assetd.kompas.id/N4q8L--5OHU0xyF9hu8GSpf6mbk=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2FUS-HUNGARY-POLITICS-TRUMP-ORBAN-diplomacy_78479660_1558512367.jpg
AFP/BRENDAN SMIALOWSKI

Penasihat Keamanan AS John Bolton (kanan) mendengarkan Presiden AS Donald Trump saat memberikan keterangan pers di Gedung Putih, 13 Mei 2019.

Itu berita buruknya. Artinya, masih terbuka kemungkinan. Bahkan, jika tidak ada pihak yang ingin bertarung, salah perhitungan, sinyal yang terlewatkan, dan logika eskalasi dapat berkonspirasi untuk mengubah bahkan bentrokan kecil menjadi kebakaran regional, dengan efek yang menghancurkan bagi Iran, AS, dan Timur Tengah. Tentu sungguh kita semua tidak mengharapkan semua itu.

Iklan

AS memiliki ambisi untuk menghalangi Iran ”membangun dominasi regional mereka sendiri yang akan mengganggu kekuatan dan kepentingan Amerika di wilayah tersebut” (Treviño 2013). Karena itu, AS menjatuhkan sanksi ekonomi atas Iran, mempertahankan keseimbangan kekuasaan di kawasan itu.

Sebelum sebuah negara, terutama negara besar, mengambil tindakan ofensif, mereka mempertimbangkan apakah aksinya akan memengaruhi keseimbangan kekuasaan dan bagaimana negara lain akan bereaksi terhadap tindakannya itu (JJ Mearsheimer, 2001). Hal itu juga dipertimbangkan oleh AS.

https://cdn-assetd.kompas.id/9o3qjffp5Zl1DJW_PFR3Yad_aG4=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2FTOPSHOT-IRAN-US-UNREST-DRONE_80859060_1561198974.jpg
TASNIM NEWS/AFP

Jenderal Amir Ali Hajizadeh, Kepala Divisi Udara Garda Revolusi Iran, melihat puing pesawat tak berawak (drone) AS yang ditembak jatuh di Teheran, 21 Juni 2019. Penembakan drone itu menambah ketegangan di Teluk, tetapi AS membatalkan serangan balasan terhadap Iran.

Demikian pula Iran, akan selalu menghitung keseimbangan kekuasaan. Iran juga ingin menikmati posisi unggul di Timur Tengah untuk menyaingi kekuatan yang dinikmati oleh Israel, Arab Saudi, dan Turki, ketiganya adalah sekutu AS.

Implikasi perang

Apabila perang pecah—meskipun sangat tidak diharapkan terjadi—pasukan AS memang merupakan musuh berat bagi Iran. Namun, usaha AS tidak akan semudah ketika menyingkirkan Presiden Irak Saddam Hussein. Iran bukan Irak. Maka, kecil kemungkinan AS akan menggunakan kekuatan darat. Iran adalah tantangan yang jauh lebih kompleks baik secara militer maupun politik. Meskipun AS lawan berat, Iran hanya perlu melakukan cukup kerusakan untuk mengubah opini publik AS terhadap konflik; untuk membuatnya tampak terbuka dan tidak pasti.

Satu hal yang perlu dicatat adalah konflik modern tidak ”dimenangkan” dalam pengertian konvensional. Seperti yang terjadi dalam perang di Afghanistan dan Irak. Apakah AS benar-benar memenangi peperangan setelah menjatuhkan Saddam Hussein? Sebaliknya, Iran pasti tidak berpikir mampu ”mengalahkan” AS dalam arti yang sesungguhnya. Akan tetapi, kedua negara mungkin percaya bahwa mereka dapat membuat keuntungan strategis dari peperangan itu.

https://cdn-assetd.kompas.id/LjsFcVzL_HyrWdctFWpNsbKj37A=/1024x612/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2FTENTARA-AS-2-01_1565262249.jpg
AP PHOTO

Pasukan militer AS melakukan patroli di jalanan Tal Afar, Irak, pada 14 November 2005. Serangan terhadap Iran tidak akan semudah ketika AS menggulingkan Saddam Hussein.

Setiap serangan terhadap Iran akan ada konsekuensi regional ataupun internasional. Iran, jika di bawah tekanan yang cukup, mungkin juga berusaha untuk menyebarkan konflik secara lebih luas, mendesak proksi di Irak, Suriah, Lebanon, atau di tempat lain untuk menyerang target AS. Mungkin juga bisa mendorong kelompok Hizbullah untuk meluncurkan serangan roket ke Israel. Tujuannya  menunjukkan kepada Washington bahwa apa yang mungkin dilihat oleh Trump sebagai kampanye hukuman pendek benar-benar berisiko membakar kawasan itu.

Sementara itu, AS masih harus berurusan dengan Turki yang sebagai sekutunya dan juga anggota NATO telah ”mbalelo” dengan membeli mesin perang dari Rusia. Masalah dengan Turki bagi AS juga NATO tidaklah bisa dianggap enteng-enteng saja. Turki bagi Eropa adalah ”penjaga pintu” timur Eropa yang ”bertugas” mencegah masuknya pengungsi ke Eropa. Turki, sekarang ini, juga negara anggota NATO sekaligus sekutu AS yang ”bermain baik” dengan Rusia di Suriah.

Perang dengan Iran akan mahal dan tidak terduga. Selain itu, perang juga tidak akan menyelesaikan masalah program nuklir Iran atau juga tumbuhnya keunggulan Iran di kawasan.

https://cdn-assetd.kompas.id/wTvXN9tB9u7H5_NnIMjsKajUt0c=/1024x678/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2FAP-Explains-Iran-Nuclear_81289296_1562495043.jpg
FARS NEWS AGENCY VIA AP/MEHDI MARIZAD

Fasilitas nuklir Iran, di dekat kota Arak, sekitar 250 kilometer barat daya Teheran, pada 15 Januari 2011.

Kita katakan mahal karena perang jika pecah akan memengaruhi harga minyak dunia, antara lain. Hubungan AS-Iran terkait erat dengan kepentingan energi dan keamanan masyarakat internasional. Lebih dari 20 persen pasokan minyak dunia (90 persen minyak yang diekspor dari Teluk) diangkut setiap hari melalui Selat Hormuz. Jika hubungan yang tegang telah meningkat antara AS dan Iran, Iran dapat membalas dengan mencoba menutup atau mengganggu lalu lintas di Selat Hormuz. Ini, pada gilirannya, dapat mengakibatkan konfrontasi bersenjata antara AS dan Iran, yang tidak diragukan lagi melibatkan wilayah Timur Tengah secara keseluruhan.

Meskipun tak satu pun negara benar-benar menguasai sepenuhnya seluruh Selat Hormuz, semua mengakui bahwa keamanan Selat Hormuz sekarang penting bukan hanya karena perdagangan; konflik di Hormuz dapat memicu badai api yang dapat dengan cepat menyebar ke luar Teluk. Selain itu, jumlah perdagangan yang melewati Hormuz telah berkembang pesat dengan bangkitnya negara-negara minyak kaya di sepanjang Teluk.

Apabila terjadi konfrontasi atas pengiriman minyak, dapat menyebabkan perang penuh antara Iran dan AS, yang bahkan bisa berubah menjadi perang nuklir.

Taruhan AS di Selat Hormuz saat ini jauh lebih tinggi daripada pada tahun 1980-an dan 1990-an. Apabila terjadi konfrontasi atas pengiriman minyak, dapat menyebabkan perang penuh antara Iran dan AS, yang bahkan bisa berubah menjadi perang nuklir. Alih-alih meyakinkan keamanan wilayah, AS justru telah mengejar manfaat jangka pendek, menjual senjata kepada mitra-mitranya di Teluk. AS juga mendorong sekutunya, seperti Qatar, untuk mendekati Iran dan pada saat yang bersamaan membiarkan sekutunya yang lain, Arab Saudi, mengambil terlalu banyak risiko dengan terlibat dalam perang di Yaman (Ilan Goldenberg, 4 Juni 2019, Foreign Affairs).

https://cdn-assetd.kompas.id/SWW8i_WpKaNn-1ifgq6RUUiTWt4=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F81839465_1564329525.jpg
AP PHOTO/TASNIM NEWS AGENCY/MORTEZA AKHOONDI

Foto udara yang diambil pada Minggu (21/7/2019) menunjukkan kapal cepat Garda Revolusi Iran bermanuver di sekitar kapal tanker berbendera Inggris, Stena Impero, yang ditahan di Selat Hormuz, Jumat (19/7/2019) di pelabuhan Iran, Bandar Abbas. Situasi di Teluk Persia semakin menghangat pasca-penahanan Stena Impero. Penahanan itu adalah balasan atas penahanan tanker Iran, Grace 1, di Gibraltar oleh Angkatan Laut Inggris.

Perkembangan itulah yang telah mendorong AS berinvestasi besar-besaran di pangkalan-pangkalan angkatan laut, di Bahrain, Qatar, dan di tempat lain yang dapat diakses melalui laut hanya melalui Hormuz. Selat Hormuz akan tetap menjadi pusat perdagangan dan maritim yang paling berharga dan rentan di dunia, tidak peduli berapa banyak harga minyak yang akan turun.

Pada akhirnya, kita mencatat bahwa hubungan antara AS dan Iran—dari kawan menjadi musuh—menjadi masalah keamanan internasional di Timur Tengah. Hal ini secara langsung dan tidak langsung akan berdampak pula terhadap situasi keamanan global, termasuk Indonesia, tentu saja.

Baca juga: Hikayat Sengkuni dan Kresna

Editor:
prasetyoeko
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000