Gelombang Unjuk Rasa Tak Bikin Warga Hong Kong Khawatir
Unjuk rasa di Hong Kong telah berlangsung lebih dari dua bulan. Hingga kini, belum terlihat tanda-tanda unjuk rasa akan mengendur. Bukannya surut, unjuk rasa warga Hong Kong tampak semakin mengeras meski tindakan aparat keamanan semakin tegas dalam membubarkan massa.
Oleh
KRIS MADA, DARI HONG KONG
·3 menit baca
HONG KONG, KOMPAS — Unjuk rasa di Hong Kong telah berlangsung lebih dari dua bulan. Hingga kini, belum terlihat tanda-tanda unjuk rasa akan mengendur. Bukannya surut, unjuk rasa warga Hong Kong tampak semakin mengeras meski tindakan aparat keamanan semakin tegas dalam membubarkan massa.
Ditemui Kompas di kawasan Wan Chai, Sabtu (17/8/2019), Jason, seorang wiraniaga, menyatakan bahwa dirinya tidak khawatir terhadap serangkaian unjuk rasa itu. ”Biasanya (unjuk rasa berlangsung pada) akhir pekan dan tidak menutup seluruh Hong Kong. Unjuk rasa hari ini di sekitar Kow Loon. Di tempat lain tenang-tenang saja, dan semua berjalan normal,” katanya.
Warga Hong Kong lainnya, Denise, menyatakan bahwa dirinya tidak percaya Beijing akan benar-benar mengirimkan tentara ke Hong Kong. ”Harganya terlalu besar. Jika sampai tentara masuk, perekonomian Hong Kong akan hancur dan akibatnya bisa ke mana-mana,” ujarnya.
Hingga Sabtu siang, Beijing memang telah menyiagakan tentara di Shenzhen, wilayah China yang berbatasan dengan Hong Kong. Sebagian tentara itu dilaporkan berlatih penanganan kerusuhan massa sejak beberapa hari lalu.
Lee, pengunjuk rasa di kawasan Kow Loon, menyalahkan kehadiran polisi sebagai penyebab kericuhan. Menurut dia, unjuk rasa berjalan aman sebelum ada polisi. ”Biasanya justru jadi ribut kalau polisi datang,” katanya.
Beberapa pengunjuk rasa yang ditemui Kompas menolak memberikan nama lengkap agar tidak diidentifikasi Pemerintah Hong Kong ataupun China. Sebagian dari mereka selalu menggunakan masker untuk menghindari identifikasi oleh polisi.
Unjuk rasa guru
Sabtu (17/8/2019), ribuan guru di Hong Kong berunjuk rasa. Mereka bergerak ke kediaman resmi Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam dan meneriakkan slogan-slogan protes. Aksi para guru ini telah memperoleh izin dari polisi dan berlangsung damai.
”Kami semua merasakan situasi yang semakin tegang. Saya menyadari bahwa kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, tetapi kadang kita butuh itu untuk menarik perhatian pemerintah. Saya pernah melempari aparat, pernah juga dipukuli, kami semua mulai terbiasa,” kata Pun (22), salah satu aktivis yang berada di garis depan.
Konfrontasi yang semakin keras antara pengunjuk rasa dan petugas keamanan yang telah berlangsung sekitar 10 pekan itu telah membawa Hong Kong pada situasi krisis. Dunia internasional meminta Beijing menahan diri, jangan sampai peristiwa Tiananmen (1989) terulang. Saat itu tentara China secara brutal membubarkan aksi unjuk rasa mahasiswa yang menewaskan banyak demonstran.
Presiden AS Donald Trump mengingatkan, apa yang akan dilakukan Beijing dalam menangani para pengunjuk rasa di Hong Kong akan berpengaruh terhadap masa depan hubungan dagang kedua negara. Trump meminta Presiden Xi Jinping menyelesaikan masalah Hong Kong dengan pendekatan yang manusiawi.
Pengunjuk rasa Hong Kong kembali mempersiapkan pengerahan massa besar-besaran pada Minggu (18/8/2019). Aksi protes pada Minggu besok digerakkan oleh Front Hak Asasi Sipil yang menganjurkan gerakan antikekerasan. Kelompok ini sebelumnya berhasil mengoordinasi aksi-aksi yang dihadiri ratusan ribu bahkan lebih dari sejuta orang.
”Aksi Minggu ini adalah aksi sejuta orang. Rakyat Hong Kong tidak bisa dikalahkan,” kata anggota parlemen prodemokrasi, Claudia Mo.
Meski demikian, kemungkinan terjadinya bentrokan semakin tinggi karena polisi tidak mengizinkan pengunjuk rasa berkumpul di dua distrik populer, yakni Hung Hom dan To Kwa Wan, dan juga melarang demonstran memasuki pusat kota. Namun, seperti juga pekan-pekan sebelumnya, semua larangan yang dikeluarkan otoritas keamanan diabaikan para demonstran.
Awal pekan ini, ribuan pengunjuk rasa menduduki bandar udara internasional Hong Kong, menyebabkan bandar udara lumpuh dan ratusan penerbangan dibatalkan. Imbas dari aksi pendudukan bandara, CEO Cathay Pacific Rupert Hogg mengundurkan diri, dan Augustus Tang diangkat sebagai CEO baru.
Hogg mundur atas tekanan Beijing terkait keterlibatan dua pilot Cathay Pacific dalam aksi unjuk rasa. Cathay juga telah memecat kedua pilot tersebut. Hogg yang berkewarganegaraan Inggris mengatakan, apa yang terjadi dalam ”pekan-pekan yang berat” itu merupakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. (AP/AFP/REUTERS/MYR)