Ujian Satu Negara Dua Sistem
Muda, beda, dan berbahaya adalah tiga kata paling tepat menggambarkan sebagian pengunjuk rasa Hong Kong. Selama berbulan-bulan, mereka menentang Partai Komunis China sekaligus para kapitalis di Hong Kong.
Dalam rangkaian unjuk rasa sejak April 2019, orang-orang berusia kurang dari 30 tahun menjadi motor penggerak. Mereka mengambil peran beragam dalam unjuk rasa. Ada yang menjadi relawan kesehatan, barisan pendobrak, hingga penyedia pasokan aneka kebutuhan unjuk rasa.
"Kami akan paling terdampak jika ada perubahan di Hong Kong. Kami yang akan menjalani masa depan. Kalau kami diam saja sekarang, masa depan mungkin akan buruk bagi kami," kata Isaac Cheng, mahasiswa Universitas Shue Yan.
Tidak mudah bagi Isaac untuk terlibat dalam rangkaian unjuk rasa itu. Pilihan itu membuatnya berseberangnya dengan orangtuanya. "Ayah-ibu saya pendukung Beijing, saya tidak mau Beijing semakin mencengkeram Hong Kong," kata anak pedagang kelontong itu.
Bukan hanya Isaac berpendapat demikian. Jutaan orang muda Hong Kong berpendapat senada dan mereka mewujudkannya dalam berbagai unjuk rasa. Mereka membeli sendiri perlengkapan untuk unjuk rasa. Selain dipakai sendiri, ada juga yang disumbangkan untuk dipakai pengunjuk rasa lain.
Memang, bukan hanya pelajar dan mahasiswa serta orang-orang berusia kurang dari 30 tahun saja yang terlibat dalam rangkaian unjuk rasa itu. Dalam berbagai unjuk rasa, kerap pula terlihat orang-orang yang sudah beruban. Unjuk rasa juga dilakukan akuntan, pekerja bank, hingga guru. Bahkan, sebelum ada teguran keras, sejumlah ASN Hong Kong juga ikut berunjuk rasa.
Keterlibatan akuntan, pekerja bank, dan profesional industri keuangan Hong Kong mengejutkan banyak pihak. Banyak dipahami bahwa industri keuangan dan turunannya menyukai stabilitas.
Rangkaian unjuk rasa telah menimbulkan banyak guncangan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Hong Kong sampai dipangkas dari tiga persen menjadi maksimal 1 satu persen. Unjuk rasa dijadikan kambing hitam pemangkasan itu. Meskipun demikian, para profesional industri keuangan Hong Kong malah menjadi bagian pengunjuk rasa.
Unjuk rasa itu juga menunjukkan perbedaan pilihan. Beberapa kali unjuk rasa mendukung Beijing melibatkan orang-orang berusia di atas 40 tahun. Sejumlah konglomerat Hong Kong seperti Li Ka Shing dan Gordon Wu, memasang iklan yang meminta kekerasan dihentikan. Wu dan sejumlah konglomerat Hong Kong malah ikut unjuk rasa mendukung pemerintah Hong Kong.
Mereka berseberangan dengan orang muda yang menentang pemerintah Hong Kong. Sebab, pemerintahan Hong Kong dinilai tunduk pada Beijing. Tudingan itu antara lain didasarkan pada keputusan pemerintah Hong Kong mengajukan rancangan undang-undang ekstradisi. Pengesahan RUU itu memungkinkan Beijing meminta Hong Kong menangkap buronan China di Hong Kong lalu mengekstradisinya ke China.
Memang, secara resmi Hong Kong adalah bagian China. Walakin, Hong Kong menggunakan UU, sistem peradilan, sistem politik, hingga mata uang berbeda dengan Beijing dan wilayah lain di China. Perbedaan itu adalah penerapan prinsip "Satu Negara, Dua Sistem" di Hong Kong yang dijanjikan Beijing akan berlaku sampai 2047. Hong Kong berstatus Wilayah Pemerintahan Khusus (SAR)
Berbahaya
Masalahnya, dalam sigi oleh Chinese University of Hong Kong (CUHK) terungkap, 20 persen penduduk Hong Kong ingin kemerdekaan selepas 2047. Sigi itu juga menemukan 69 persen ingin Satu Negara Dua Sistem diperpanjang selepas 2047. Selain itu, dalam jajak pendapat yang sama terungkap 59,2 persen penduduk Hong Kong menentang ide kota itu dikendalikan langsung oleh Beijing.
Sikap responden itu tercermin dalam rangkaian unjuk rasa Hong Kong. Arah unjuk rasa sudah berubah dari tujuan awal, menentang pembahasan rancangan undang-undang ekstradisi. Meski tidak ada dalam lima tuntutan resmi yang senantiasa disampaikan dalam setiap unjuk rasa, aroma anti-Beijing menguat dari hari ke hari.
Dalam setiap unjuk rasa, selalu ada teriakan berbunyi "Gwong fuk heung gong, si doi gak ming" dalam setiap unjuk rasa. Frasa itu itu kurang lebih bermakna, bebaskan Hong Kong, revolusi sekarang juga. Berbagai poster juga berisi tulisan itu dan tersebar di berbagai penjuru Hong Kong.
Keinginan itu tidak bagus di tengah upaya Beijing menekan Taiwan agar kembali menjadi bagian China. Beijing berulang kali menjanjikan Taipei akan menikmati kesejahteraan lebih baik jika bergabung dengan China dan menikmati prinsip "Satu Negara, Dua Sistem".
Janji itu akan kehilangan makna jika Hong Kong bisa membuktikan Beijing tidak serius dan tidak konsisten menerapkan prinsip itu. Apalagi, prinsip itu baru berjalan 22 tahun di Hong Kong dan masih ada 28 tahun lagi sebelum periode prinsip itu berakhir.
Taipei pun tidak tinggal diam dalam gejolak Hong Kong. Taipei secara terbuka mengumumkan semakin banyak warga Hong Kong bermigrasi ke Taiwan. Alasan utamanya : khawatir atas penguatan cengkeraman Beijing terhadap Hong Kong.
Jika unjuk rasa terus berlangsung dan melebar ke mana-mana, janji Beijing atas prinsip "Satu Negara, Dua Sistem" akan kehilangan makna. Hal itu akan membuat Beijing semakin sulit mengajak Taipei kembali bergabung dalam naungan satu bendera merah besar.