Dua Sisi Jejak Perjalanan Sang Pewaris Permata Afrika
Dia sangat ikonik, dia adalah legenda Afrika. Kesalahannya hanya satu ialah terlalu lama berkuasa.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Zimbabwe dan Afrika berduka. Gerilyawan yang memimpin negeri itu menuju kemerdekaan tahun 1980 dan menghancurkan musuh-musuhnya selama hampir empat dasawarsa pemerintahan saat terpuruk dalam kemiskinan, hiperinflasi, dan kerusuhan telah berpulang, Jumat (6/9/2019). Robert Mugabe meninggal pada usia 95 tahun di Singapura setelah menjalani perawatan medis sejak lama.
”Dengan sangat sedih saya mengumumkan meninggalnya pendiri Zimbabwe sekaligus mantan Presiden Zimbabwe, Cde (Kamerad) Robert Mugabe,” kata Presiden Emmerson Mnangagwa di akun Twitter resmi miliknya. Mnangagwa pun mempersingkat lawatannya ke Forum Ekonomi Dunia di Afrika Selatan dan langsung bertolak pulang.
Penghargaan dan ucapan duka mengalir dari para pemimpin Afrika. Pemerintah Afrika Selatan, misalnya, berduka atas meninggalnya ”pejuang pembebasan pan-Afrika yang tak kenal takut” tersebut. Presiden Kenya Uhuru Kenyatta memuji Mugabe seorang seorang ”pria pemberani yang tidak pernah takut untuk memperjuangkan apa yang dia yakini, bahkan ketika itu tidak populer”.
Di dalam negeri Zimbabwe sendiri, rival Mugabe juga memberikan hormat. ”Dia adalah raksasa di panggung Zimbabwe dan warisan positifnya yang abadi adalah mengakhiri pemerintahan minoritas kulit putih dan memperluas pendidikan berkualitas untuk semua warga Zimbabwe,” cuit David Coltart, seorang senator oposisi.
Akan tetapi, banyak yang mengatakan bahwa warisannya itu dibayangi oleh kerusakan yang dia lakukan pada bangsanya. Setelah berhasil membebaskan negaranya dari pemerintahan kolonialisme kulit putih dan setelah sekitar 37 tahun berkuasa, ia tersingkir dari kekuasaannya setelah digulingkan oleh pasukannya sendiri. Bagi Mugabe, itu adalah sebuah pengkhianatan yang ”tidak konstitusional dan memalukan” yang dilakukan oleh partai dan rakyatnya.
Ketika Zimbabwe melepaskan dari dari kekuasaan kolonial kulit putih dan Mugabe pertama kali berkuasa, ia dipuji sebagai ahli rekonsiliasi rasial karena berusaha merangkul orang-orang kulit putih. Dia juga menggenjot pembangunan pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah baru. Pariwisata dan pertambangan pun berkembang pesat hingga menjadikan Zimbabwe sebagai ”keranjang roti” regional.
Namun, saat kejatuhannya, ia dipandang oleh banyak orang di dalam dan luar negeri sebagai seorang penguasa yang terobsesi dengan kekuatan yang melepaskan pasukan kematian, mencurangi pemilihan, dan merusak ekonomi untuk tetap memegang kendali.
Pembebasan Zimbabwe
Mugabe mengambil alih kekuasaan pada 1980 setelah tujuh tahun perang saudara atau yang dikenal juga dengan Rhodesia Bush War atau Perang Pembebasan Zimbabwe melanda negaranya. Perang segitiga itu melibatkan pemerintahan kulit putih Rhodesia (nama Zimbabwe dulu), Tentara Pembebasan Nasional Afrika Zimbabwe—sayap militer Uni Nasional Afrika Zimbabwe (ZANU) pimpinan Mugabe—dan Tentara Revolusi Rakyat Zimbabwe dari Uni Rakyat Afrika Zimbabwe pimpinan Joshua Nkomo.
Tiga tahun setelah kemerdekaan, Mugabe mengirim pasukan Brigade Kelima yang sudah dilatih Korea Utara ke kampung halaman orang-orang Ndebele untuk menghancurkan loyalis lawannya, yaitu Joshua Nkomo.
Dalam waktu dua tahun kemudian, kelompok pembela hak asasi manusia memperkirakan sekitar 20.000 meninggal. Pembersihan itu kemudian dikenal dalam bahasa Shona sebagai Gukurahundi, yang berarti ”hujan yang menyapu sekam”. Adapun pihak oposisi menyebutnya genosida.
Para korban dieksekusi, dipaksa menggali kuburan mereka sendiri, atau dibuang ke dalam sumur. Menurut dokumen tahun 1997, Breaking the Silence, sebuah laporan oleh Komisi Katolik untuk Keadilan dan Perdamaian, perkosaan, penyiksaan, pemukulan massal, dan penghancuran besar-besaran di desa adalah hal biasa.
Bertahun-tahun setelah peristiwa berlalu, Mugabe mengakui bahwa Perang Pembebasan Zimbabwe adalah masa yang ’sangat buruk’.
Meskipun tidak pernah membangkitkan kemarahan internasional, peristiwa itu adalah masa tergelap pemerintahan Mugabe. Bertahun-tahun kemudian, Mugabe mengakui bahwa itu adalah masa yang ”sangat buruk” dan menyalahkan prajuritnya yang membangkang. Para peneliti mengatakan, bukti-bukti menunjukkan bahwa Mugabe tahu apa yang terjadi selama ini.
Dalam setiap pidatonya yang berapi-api selama pemerintahannya, Mugabe melukiskan tindakannya sebagai respons terhadap warisan kolonial yang rasis yang memusatkan kekayaan di tangan orang kulit putih.
Ketika ekonomi kolaps dan kesehatannya menurun, tidak banyak lagi yang ia percayai. Musuh-musuhnya mencurigai adanya rencana untuk memberikan kekuasaan kepada istri mudanya, yang mereka sebut ”Gucci Grace” karena gaya hidupnya yang mewah.
”Ini adalah akhir dari babak yang sangat menyakitkan dan menyedihkan dalam sejarah sebuah negara muda, di mana seorang diktator, ketika ia menjadi tua, menyerahkan istananya kepada sekelompok pencuri di sekitar istrinya,” kata Chris Mutsvangwa, pemimpin veteran perang pembebasan yang berpengaruh di Zimbabwe kepada Reuters setelah Mugabe disingkirkan.
Pelajaran dari Mugabe
Lahir pada 21 Februari 1924 dalam misi Katolik Roma di dekat Harare, Mugabe dididik oleh para imam Jesuit dan bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ia belajar di Universitas Fort Hare, Afrika Selatan, yang kemudian menjadi tempat berkembangnya nasionalisme Afrika.
Kembali ke Rhodesia pada 1960, ia memasuki dunia politik dan empat tahun kemudian ia dipenjara satu dekade karena menentang pemerintahan kulit putih. Ketika anak laki-lakinya yang masih bayi meninggal akibat malaria di Ghana pada 1966, Mugabe ditolak untuk menghadiri pemakaman, sebuah keputusan yang menurut sejarawan kian menambah kebencian Mugabe.
Barangkali kesalahan Mugabe hanya satu: berkuasa terlalu lama.
Setelah dibebaskan, ia naik ke puncak gerakan gerilya Tentara Pembebasan Nasional Afrika Zimbabwe. ”Anda telah mewarisi permata di Afrika. Jangan menodai itu,” kata Presiden Tanzania Julius Nyerere kepada Mugabe saat perayaan kemerdekaan di Harare.
Kepergian Mugabe dari kekuasaan tetap gagal mengangkat ekonomi Zimbabwe. Negara itu tetap berada dalam krisis ekonomi terburuk dalam satu dekade. Inflasi tiga digit, pemadaman listrik bergilir, dan kekurangan dollar AS, dan barang-barang kebutuhan pokok pasca-Mugabe telah menghidupkan kembali ingatan akan era Mugabe.
Sebagai bapak bangsa yang membebaskan Zimbabwe dari kolonialisme dan menetapkan fondasi pembangunan negara itu hingga diakui internasional, Mugabe memiliki peran yang sangat besar. Namun, pada saat yang sama rakyat Zimbabwe juga memiliki ingatan yang bertolak belakang dengan itu semua.
Barangkali kesalahan Mugabe hanya satu: berkuasa terlalu lama.
”Dia sangat ikonik, dia adalah legenda Afrika. Kesalahannya hanya satu ialah terlalu lama berkuasa. Kamu tidak bisa membiarkan seseorang yang sudah berusia 89 dan 90 tahun menjadi presiden, kamu harus memberi kesempatan kepada orang lain,” tutur warga Harare, Inwell Samukanya. (AP/REUTERS)