Di tengah gangguan pada jaringan produksi global akibat semakin mengerasnya perang tarif antara AS dan China, kawasan Asia diyakini bakal relatif mampu bertahan dari guncangan resesi. Beberapa hal disebut menjadi faktor penguat Asia, mulai dari konsumsi domestik, tiadanya perang tarif antarnegara Asia, perdagangan intra-Asia, hingga ketersediaan cadangan devisa.
Makin kuat opini yang menyebut bahwa resesi ekonomi segera memukul Amerika Serikat. Ini resesi buatan Presiden AS Donald Trump. Dasarnya adalah kebencian pada China dan berwujud perang dagang. Perang ini tidak lagi sebatas aksi balas-membalas lewat tarif antara AS dan China.
Sebagai balasan atas tarif 25 persen oleh AS terhadap barang impor dari China senilai 250 miliar dollar AS, Beijing menghentikan impor produk pertanian AS. ”Negeri Tirai Bambu” juga meminta warganya untuk tidak berkunjung ke AS.
Langkah terbaru Trump adalah mengenakan 15 persen tarif atas produk impor senilai 100 miliar dollar AS dari China. China membalas dengan mengenakan tarif atas impor minyak mentah dari AS. Trump mengancam akan mengenakan lagi tarif atas 200 miliar dollar AS impor dari China mulai 1 Desember 2019. Ini pasti akan dibalas lagi oleh China.
Ray Dalio, pendiri perusahaan hedge fund terbesar dunia (Bridgewater Associates), menyatakan bahwa bukan tidak mungkin China akan membalas dengan melepas kepemilikan obligasi Pemerintah AS.
Gangguan global
Aksi saling balas ini mengkristalkan kekhawatiran soal gangguan pada jaringan produksi global. ”Masalah yang lebih kritis dari perang tarif adalah ketidakpastian yang muncul dan memengaruhi rencana bisnis,” kata Louis Kuijs, Kepala Departemen Ekonomi Oxford Economics.
Timothy Fiore, Ketua Institute for Supply Management Manufacturing Business Survey Committee (AS), seperti dikutip laman Supply Chain Dive, mengatakan, ”Komentar-komentar dari pebisnis merefleksikan keyakinan bisnis menurun.”
Gangguan pada jaringan produksi terjadi pada industri teknologi informasi, makanan, pakaian jadi, dan alas kaki. Tarif yang dikenakan AS memukul sektor ini. China membalas lewat pengenaan tarif hingga penghentian produk impor pertanian asal AS.
Gangguan pada jaringan produksi terjadi pada industri teknologi informasi, makanan, pakaian jadi, dan alas kaki.
Trump mencoba meminta Bank Sentral AS menurunkan suku bunga dengan tujuan menambah uang beredar ke pasar. Masalahnya, menurut ekonom AS, Nouriel Roubini, bukan uang yang menjadi masalah, melainkan jaringan produksi yang terganggu akibat perang dagang. Sejauh ini, solusi atas akar resesi tidak mengena.
Dinamika Asia
Negara-negara mana yang akan terganggu resesi? AS dan zona euro akan terpukul lebih berat. Padahal, mereka belum pulih total dari warisan resesi tahun 2008 dan 2009. Ketakutan soal resesi lebih banyak mendera AS dan zona euro.
Bagaimana dengan Asia? Gangguan pada Asia muncul karena status kawasan itu sebagai basis produksi global. China menjadi basis bagi 25 persen sektor manufaktur dunia. Jaringan ini terkait dengan para pelaku bisnis dari zona euro, AS, dan Asia.
Produksi yang paling terganggu adalah produk elektronik dan otomotif. Pada sektor ini ada kolaborasi dengan sejumlah negara di Asia, seperti Jepang, China, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Dengan demikian, tarif Trump berefek ke Jepang dan negara-negara tersebut.
Untungnya, konsumsi domestik di hampir semua negara di Asia sedang kuat dan masih akan bertumbuh. Ini pilar utama Asia. Untungnya pula, sesama negara Asia tidak terjebak perang tarif. Basis produksi, dengan demikian, terganggu hanya untuk penjualan produksi ke pasar AS.
China paling terpukul
China tentu menjadi negara yang paling terpukul di Asia karena tarif Trump. Untungnya, China memiliki pemerintahan yang kaya, termasuk dengan kepemilikan cadangan devisa. ”Beijing diperkirakan akan meluncurkan stimulus,” kata Julian Evans-Pritchard, ekonom dari Capital Economics, seperti dikutip koran Financial Times.
Mengompensasi gangguan ekonomi akibat tarif China mendorong stimulasi fiskal, mendorong pengembangan infrastruktur. Fasilitas atau instrumen serupa itu tidak lagi dimiliki AS dan zona euro.
”Sehubungan dengan hubungan Sino-Amerika yang tak stabil, China memang harus mendorong kebijakan untuk mengantisipasi siklus,” kata Zhengsheng Zhong, direktur analisis ekonomi makro di CEBM Group.
Perdagangan intra-Asia menjadi penolong lain sehingga China tidak terpukul terlalu keras akibat tarif. Tambahan dari kebijakan di China, yakni Asia— termasuk India hingga Indonesia—sedang meningkatkan program infrastruktur. Negara-negara Asia lain juga relatif memiliki kas dan cadangan devisa tinggi. Inilah faktor penambah kekuatan Asia.
”Meski perang dagang berlanjut, kawasan tetap kuat kendati dengan pertumbuhan moderat,” kata ekonom senior Bank Pembangunan Asia (ADB), Yasuyuki Sawada.
Pada Juli 2019, misalnya, ADB meramalkan ekonomi ASEAN tumbuh 4,8 persen pada 2019 dan 4,9 persen pada 2020, turun dari 4,9 persen dan 5 persen untuk periode serupa, berdasarkan perkiraan ADB pada April 2019.