Presiden Amerika Serikat Donald Trump merupakan presiden pertama AS yang saat menjabat menginjakkan kakinya di Korea Utara dan berjabat tangan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di sisi utara zona demiliterisasi Korea, Minggu (30/6/2019). Namun, pada saat yang sama, Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton justru berada di Mongolia.
Meski mendapat undangan dari Trump untuk hadir di Korea Utara, ia tetap ke Mongolia. Jarak 1.930 kilometer yang terpaut antara Korea Utara dan Mongolia seakan menjadi petunjuk hubungan Trump dan Bolton yang tidak akur. Bolton seperti terasing dari para pembantu Trump lainnya. Ia memilih absen pada momen bersejarah dalam upaya negosiasi damai dan denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Trump dan Bolton memiliki gaya dan pendekatan yang berbeda dalam menjalankan politik luar negeri AS. Keduanya jarang terlihat bersama dalam pertemuan tingkat tinggi di panggung global. Bolton memiliki pandangan politik luar negeri yang lebih agresif dibandingkan prinsip ”mengutamakan Amerika (America first)” dalam isu Iran, Korea Utara, dan Afghanistan.
”John Bolton benar-benar agresif,” ujar Trump kepada NBC, Juni lalu. Trump terkadang berkelakar tentang sosok Bolton sebagai provokator perang. Dalam sebuah pertemuan di Ruang Oval, Gedung Putih, Trump pernah mengatakan bahwa ”John belum pernah melihat perang yang tidak ia inginkan.”
Salah satu perbedaan antara Trump dan Bolton adalah keinginan Trump mengundang para tokoh Taliban ke Camp David yang dijadwalkan akhir pekan lalu. Acara pertemuan dengan tokoh Taliban batal terlaksana setelah Trump mengumumkan penghentian negosiasi AS-Taliban.
Sebuah sumber yang familier dengan pandangan Bolton menyebutkan, Bolton—mantan Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komentator di televisi Fox News—yakin AS bisa menarik 8.600 tentaranya dari Afghanistan dan tetap menjalankan operasi kontraterorisme tanpa menandatangani perjanjian damai dengan Taliban.
Beberapa pejabat AS menyatakan, Bolton-lah yang bisa dikambinghitamkan atas gagalnya pertemuan Trump dengan Kim Jong Un di Hanoi, Februari 2019. Dialah yang merekomendasikan beberapa tuntutan keras sehingga usulan AS ditolak Kim berakibat kolapsnya perundingan.
Beberapa pejabat AS menyatakan, Bolton-lah yang bisa dikambinghitamkan atas gagalnya pertemuan Trump dengan Kim Jong Un di Hanoi, Februari 2019.
Pada Mei 2019 media Korut menyebut Bolton sebagai ”maniak perang” yang ”membuat berbagai kebijakan provokatif”, seperti menetapkan negara kita sebagai poros kejahatan, serangan pendahuluan, dan pergantian rezim.
Trump sebelumnya menghargai perbedaan pandangan dirinya dengan Bolton. Namun, kemudian ia percaya bahwa sikap penasihatnya itu membuat enggan atau tak nyaman para pemimpin negara lain untuk berunding dengan AS.
Bolton (70) menduduki jabatan penasihat keamanan nasional AS pada April 2018, menggantikan HR McMaster. Melalui akun Twitter-nya, Bolton menyampaikan, dirinyalah yang meminta mundur.
Bagi dunia, itu tak penting. Yang lebih penting, apakah hengkangnya Bolton dari Gedung Putih akan membuat kebijakan luar negeri AS ”lebih bersahabat” dengan negara-negara lain. (REUTERS/AP)