Bukan LSM atau Badan PBB, Netralitas dan Imparsialitas Jadi Panduan
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Seorang diplomat di Kementerian Luar Negeri RI bercerita, dalam pembebasan warga negara Indonesia yang terjebak dalam konflik di Yaman, tim Kemlu terbantu banyak oleh kehadiran Komite Internasional Palang Merah atau ICRC di negeri itu. ”Berkat staf ICRC, dua pihak yang bertempur di Aden mau berhenti lewat gencatan senjata sementara sehingga kami bisa mengevakuasi warga Indonesia,” tuturnya.
Yaman adalah salah satu negara wilayah operasi utama ICRC. Selain Yaman, seperti diutarakan dalam laman resminya, wilayah operasi utama ICRC mencakup Afrika Tengah, kawasan Danau Chad (Nigeria, Niger, Kamerun, dan Chad), Myanmar, Sudan Selatan, Suriah, dan Afghanistan. Disebutkan, sekitar 18.000 staf dikerahkan ICRC ke lebih dari 90 negara dengan misi membantu rakyat yang terdampak konflik bersenjata dan kekerasan.
Untuk bisa menjalankan misinya, salah satu hal penting bagi ICRC adalah akses. Akses memasuki sebuah negara, akses terhadap kelompok-kelompok yang terlibat konflik, akses ke area warga sipil yang terdampak, dan akses atas perlindungan saat menjalankan tugas.
Koordinator Regional untuk Urusan Kemanusiaan ICRC Charlie Dorman-O’Govan bercerita, salah satu upaya untuk mendapatkan akses-akses tersebut adalah komunikasi ICRC dengan semua pihak. Bukan sekadar berkomunikasi, tetapi juga meyakinkan semua pihak di wilayah konflik bersenjata tersebut bahwa ICRC berpegang pada prinsip netralitas dan imparsialitas dalam misinya.
”Pada awal-awal pertemuan, pihak militer, kelompok-kelompok bersenjata, dan warga sipil cenderung sedikit curiga. Mereka pikir, cukup aneh orang seperti saya datang dari Irlandia, diterjunkan ke negara mereka dan menyatakan akan membantu mereka,” ungkap Dorman-O’Govan.
”Mereka mungkin curiga, berpikir bahwa orang (seperti kami) punya agenda politik.”
Penegasan bahwa ICRC netral dan imparsial harus dibuktikan. Untuk membuktikan netralitas itu, kata Dorman-O’Govan, ICRC tidak pernah mengeluarkan pernyataan atau sikap politik. Dalam membantu korban konflik, ICRC tak pernah membedakan korban atas dasar etnis, agama, atau status korban dan keberpihakannya dalam konflik.
”Terhadap siapa pun yang terdampak oleh konflik bersenjata atau situasi kekerasan, kami berusaha membantu mereka atas dasar kemanusiaan,” ujar Dorman-O’Govan, yang pernah bertugas di Afghanistan dan Thailand selatan itu.
Salah satu kelebihan ICRC, yang bisa membantu posisi mereka adalah mandat yang diberikan oleh Konvensi Geneva tahun 1949 untuk menjalankan misinya. Konvensi itu telah diratifikasi oleh 196 negara. Dengan mandat konvensi itu pula, kata Dorman-O’Govan, ICRC tak bisa disebut lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan bukan pula salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menghadapi Taliban
Meski demikian, dalam praktik selalu tidak mudah beroperasi di wilayah konflik bersenjata. Di Afghanistan, misalnya, kelompok Taliban pernah mengeluarkan larangan bagi ICRC dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di negeri itu pada April 2019.
Jubir ICRC Robin Waudo, seperti dikutip kantor berita AFP pada 14 April 2019, mengatakan, ICRC terpaksa menghentikan aktivitasnya di Afghanistan akibat ditariknya jaminan keamanan tersebut.
Sebelumnya, pada Agustus 2018, Taliban juga pernah menghentikan ”kesepakatan keamanan”. Sama seperti pada April lalu, ICRC terpaksa menghentikan operasinya di Afghanistan. Menurut Taliban, ICRC memulai kembali misinya di negara itu pada Oktober 2018 menyusul adanya pembicaraan antara kedua pihak.
Berdasarkan pengalamannya di Afghanistan, Dorman-O’Govan menuturkan, langkah ICRC berkomunikasi dengan berbagai pihak dan kemampuan menjaga kerahasiaan dalam pembicaraan-pembicaraan dengan pihak-pihak tersebut penting agar ICRC bisa diterima semua pihak. ICRC biasa menjalankan peran sebagai jembatan komunikasi antara pihak-pihak yang berkonflik.
Namun, berbeda dari peran mediator, ICRC tak berperan dalam membantu negosiasi antara-pihak yang berkonflik. ICRC, misalnya, menyampaikan pesan dari para tawanan kepada pihak atau otoritas terkait. Semua pesan dijaga kerahasiaannya.
Selain itu, penting juga menciptakan kesan bahwa ICRC bukanlah ancaman. Hal tersebut, antara lain, diperlihatkan dengan tidak diperbolehkannya para staf ICRC dikawal pasukan bersenjata saat datang ke desa-desa atau pelosok negeri.
Dorman-O’Govan menegaskan, sesuai dengan alasan berdirinya, ICRC fokus pada peran spesifik, yakni mencegah dampak konflik bersenjata dan situasi kekerasan. Itu sebabnya, menjawab pertanyaan yang kerap disuarakan banyak pihak, ICRC tidak ambil bagian dalam upaya pencegahan perang. Tugas ini bukanlah wilayah misi ICRC.