Generasi Muda Didorong Proaktif Selamatkan Lingkungan
Anak-anak muda dunia saat ini merupakan generasi yang akan paling merasakan dampak negatif perubahan iklim di masa depan
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak muda dunia saat ini merupakan generasi yang akan paling merasakan dampak negatif perubahan iklim di masa depan. Mereka pun dipacu untuk lebih proaktif dalam menangani isu perubahan iklim yang kian mencemaskan.
Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Michael Bucki, mengatakan, peradaban manusia kini bergantung pada peran anak muda masa kini. Mereka merupakan garis depan pertahanan dalam menangani perubahan iklim.
”Dengan perkembangan teknologi, mereka semakin terekspos data dan informasi mengenai perubahan iklim dan lingkungan. Mereka bisa menggunakan platform itu untuk beropini,” kata Bucki seusai Climate Diplomacy Week 2019 yang digelar oleh Uni Eropa di Jakarta, Senin (23/9/2019).
Peran anak muda dalam memimpin aksi untuk meningkatkan kesadaran atas perubahan iklim semakin tampak dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu anak muda yang berhasil menggelar aksi global adalah Greta Thunberg dari Swedia. Thunberg berhasil mengajak jutaan pelajar seluruh dunia melakukan mogok belajar.
Bucki melanjutkan, anak muda Indonesia juga dapat saling berkontribusi dan berkonsultasi dalam mengatasi masalah iklim global. Aksi bisa dilakukan dalam skala kecil terlebih dulu di lingkungan sekitar.
Mereka perlu mendorong masyarakat untuk berubah dari sistem dan model bisnis tidak ramah lingkungan yang telah ada. ”Namun, tentunya tantangan yang ada sekarang tidak bisa dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh,” ujarnya.
Ketua Umum Hutan Itu Indonesia (HII) Andre Christian mengatakan, anak muda Indonesia harus turut berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu perubahan iklim. Berdasarkan pengalamannya, ia menemukan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan masih sangat minim.
”Sebagai gambaran, anak muda perkotaan daerah Jabodetabek belum memahami bagaimana makanan sehari-hari berkaitan dengan masalah alih fungsi lahan. Mereka juga belum paham isi hutan itu tidak hanya pepohonan, tetapi juga hewan dan masyarakat adat,” kata Andre.
Berbagai bentuk kampanye telah dilakukan dalam bentuk konser musik, olahraga bersama, pameran, dan kolaborasi dengan organisasi non-pemerintah sejenis untuk meningkatkan kesadaran. Kampanye lain yang dilakukan oleh HII adalah membagikan sekitar 30.000 masker bertuliskan ”Hutanku Napasku”.
”Kampanye kami menggunakan masker karena masker adalah bagian dari kehidupan bagi masyarakat urban. Masker identik dengan bernapas,” kata Andre.
Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns menambahkan, penanganan isu perubahan iklim tidak lagi hanya terbatas dalam peran pemerintah. ”Kita semua harus bekerja sama mulai sekarang menggunakan cara yang efektif,” ujarnya.
Saling melengkapi
Bucki melanjutkan, selain mendorong gerakan dari lapisan akar rumput, Uni Eropa juga mendorong penanganan masalah perubahan iklim di tingkat pemerintah. Kedua strategi ini harus saling melengkapi guna mencapai tujuan secara optimal.
Selain mendorong gerakan dari lapisan akar rumput, Uni Eropa juga mendorong penanganan masalah perubahan iklim di tingkat pemerintah.
”Seluruh pihak harus mau mengubah perilaku yang merusak lingkungan. Kita semua perlu memahami bahwa perubahan lingkungan akan memiliki dampak langsung kepada biaya kesehatan dan ekonomi negara,” katanya.
Sayangnya, sejumlah negara belum menunjukkan pemahaman bahwa deforestasi tidak serta merta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Brasil, misalnya, pernah menyatakan perlindungan hutan Amazon mengganggu pertumbuhan ekonomi Brasil.
Menurut Bucki, UE menjadi contoh nyata negara-negara yang mampu menumbuhkan ekonomi sekaligus mencegah deforestasi. ”Sebenarnya, kita bisa melakukan kedua hal ini,” ujarnya.