Sidang Majelis Umum PBB, Agenda dari Pasifik Selatan, dan Isu Papua
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
Menjelang pembukaan sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa (24/9/2019), beredar kabar tokoh separatis Benny Wenda sudah berada di New York, AS, lokasi Markas Besar PBB. Seperti tahun-tahun sebelumnya pada sidang PBB, ada kemungkinan isu Papua akan diramaikan di forum itu.
Sebagai pemegang paspor Inggris Raya, Benny Wenda memang bisa masuk Amerika Serikat. Bahkan, ia tidak perlu visa untuk masuk AS. Walakin, belum pasti ia bisa masuk kompleks Markas Besar PBB.
Selama sidang Majelis Umum (MU) PBB, kepolisian New York menutup banyak jalan menuju kantor PBB. Untuk melewati 2nd Avenue dan mengarah ke kantor PBB, setiap orang harus menunjukkan kartu pengenal yang diterbitkan PBB.
Kartu itu hanya diberikan kepada pegawai PBB, anggota delegasi, undangan PBB, jurnalis, dan pengunjung harian. Tanpa kartu itu, siapa pun bisa diusir polisi New York dan petugas keamanan PBB agar menjauh dari pagar pembatas di 2nd Avenue.
Selepas melewati 2nd Avenue, seseorang harus menjalani pemeriksaan berulang untuk bisa masuk kompleks PBB. Bisa masuk ke kompleks PBB pun tidak berarti bisa langsung masuk ke ruang sidang MU PBB. Ada pemeriksaan berulang kali untuk masuk ruang sidang. Para pemegang kartu pengunjung harian tidak bisa masuk ke gedung utama selama sidang MU PBB. Mereka hanya bisa berada di lobi dan kantin.
Hanya pegawai PBB, anggota delegasi negara, dan undangan khusus yang boleh masuk ruang sidang MU PBB. Di ruang sidang, tiap negara diberi satu kali kesempatan berbicara dan bebas menentukan temanya.
Isu Papua
Negara di Kepulauan Pasifik selalu memanfaatkan momen itu untuk membahas kemerdekaan Papua. Bagi mereka, forum sidang MU PBB dianggap sebagai momen penting untuk mengangkat isu Papua.
Meski demikian, hukum dan tatanan internasional saat ini menutup peluang pemenuhan tuntutan pegiat dan pendukung isu Papua Merdeka, yang mengusung tuntutan pokok referendum di Papua.
Bagi PBB, referendum di Papua sudah dilakukan tahun 1969 dan tidak bisa diulang lagi. Lewat resolusi MU PBB nomor 2504 tahun 1969, PBB menerima hasil referendum, yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Lewat resolusi itu, PBB juga menerima Pepera sebagai hak menentukan pilihan secara bebas.
Sikap itu kembali ditegaskan kala Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat menerima Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani pada awal September 2019 di New York.
”Dalam hukum internasional, tidak ada preseden resolusi Majelis Umum PBB dibatalkan. Tidak ada mekanisme yang mengatur pengujian produk hukum organ-organ PBB, termasuk resolusi Majelis Umum,” kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana beberapa waktu lalu.
Dengan kata lain, keputusan PBB menerima hasil Pepera ataupun Papua sebagai wilayah Indonesia tidak bisa dibatalkan dengan sistem hukum internasional sekarang. Hukum Indonesia pun tidak mengenal referendum, apalagi pemisahan wilayah. Padahal, hukum internasional mewajibkan proses konstitusional dalam pemisahan suatu wilayah.
Dengan kata lain, keputusan PBB menerima hasil Pepera ataupun Papua sebagai wilayah Indonesia tidak bisa dibatalkan dengan sistem hukum internasional sekarang.
Pendek kata, dibutuhkan klausul pemisahan diri dan referendum dalam konstitusi Indonesia untuk memenuhi keinginan referendum Papua. Klausul itu tidak ada di Undang-Undang Dasar Indonesia.
Kolonialisme
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo menyebut, hanya wilayah kolonial dan wilayah tanpa pemerintahan sendiri (NSGT) yang bisa menggelar referendum. Papua, menurut hukum internasional, tidak termasuk kedua jenis wilayah itu. Papua tidak ada dalam daftar NSGT PBB.
Dalam konteks kolonialisme, fakta sejarah mencatat PBB menyerahkan Papua kepada Indonesia. Lewat upacara pada 1 Mei 1963 di Jayapura, kala itu bernama Hollandia, Otoritas Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) menyerahkan pengelolaan Papua kepada Indonesia.
Penyerahan itu bagian dari pelaksanaan Kesepakatan New York antara Indonesia dan Belanda pada Agustus 1962 di New York. Dalam kesepakatan itu, Belanda setuju menyerahkan Papua kepada Indonesia melalui PBB. Indonesia setuju menggelar referendum di Papua setelah menerima penyerahan kendali dari PBB.
Selain itu, masih dalam konteks kolonialisme, Papua juga dianggap sudah menentukan nasib lewat proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu mengacu pada prinsip Uti Possidetis Juris. Secara sederhana, prinsip itu menetapkan wilayah negara yang baru merdeka dari kolonialisme disesuaikan dengan wilayah penjajahnya. ”Karena itu, Malaysia tidak masuk (wilayah Indonesia), Singapura tidak masuk, karena bukan jajahan Belanda,” ujar Eddy.
Dalam konstitusi Belanda 1938, lanjut Eddy, wilayah Kerajaan Belanda termasuk Hindia Belanda. Hindia Belanda kala itu membentang di wilayah yang kini menjadi Indonesia. Konstitusi itu paling dekat dengan waktu kemerdekaan Indonesia dan dijadikan acuan penerapan asas Uti Possidetis Juris.