Pada pertengahan September ini, Uni Eropa untuk pertama kali menggelar ”persidangan” terhadap Hongaria. Negeri Eropa timur bekas negara satelit Uni Soviet pada era komunisme itu dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan besar di kalangan para pemimpin UE. Ada kecurigaan, di bawah Perdana Menteri Viktor Orban, Hongaria melanggar nilai-nilai utama UE.
Nilai-nilai UE yang dimaksud, antara lain, kebebasan media, independensi peradilan, perlindungan kelompok minoritas, dan kebebasan akademik. Ujung dari kecurigaan tersebut adalah kekhawatiran soal melemahnya demokrasi di Hongaria. Tahun lalu, Parlemen Eropa menyatakan tindakan-tindakan Orban membawa ”bahaya yang jelas soal pelanggaran serius” atas nilai-nilai utama UE.
Orban berkuasa di Hongaria sejak 2010, setelah sebelumnya menjadi PM pada 1998-2002. Ia membuat UE sangat marah dengan kebijakan tanpa kompromi soal imigrasi. Hongaria merupakan negara pertama di Eropa yang membangun pagar untuk mencegah pengungsi dari Timur Tengah masuk atau lewat saat konflik di Suriah memuncak. Budapest juga menolak pembagian kuota pengungsi dari UE.
Hongaria adalah anggota UE. Maka, demikian pandangan Brussels, sudah seharusnya negara itu tunduk pada nilai-nilai UE. Yang lebih mengkhawatirkan UE adalah terkikisnya nilai-nilai utama fondasi berdiri blok tersebut akibat kebijakan-kebijakan nasionalis pemerintahan Orban. Situasi di Hongaria, kata Menteri UE Perancis Amelie de Montchalin, ”mengkhawatirkan”.
Situasi di Hongaria, kata Menteri UE Perancis Amelie de Montchalin, ”mengkhawatirkan”.
”Ketika kita bicara tentang independensi para hakim, kebebasan media, ketika kita bicara tentang perlindungan warga minoritas, kebebasan akademik... itu mengingatkan soal identitas kita, nilai-nilai kita,” katanya yang dikutip kantor berita Reuters, 16 September 2019.
Namun, Menteri Kehakiman Hongaria Judit Varga menepis kritikan itu. ”Menolak komunitas nilai-nilai pada satu negara anggota hanya karena perbedaan posisi dalam isu-isu tertentu terkait politik dan kebijakan UE bakal menciptakan preseden berbahaya dan membuat fondasi integrasi Eropa bakal dipertanyakan,” katanya.
Majalah The Economist edisi 31 Agustus-6 September 2019 menurunkan laporan utama tentang persekongkolan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan lembaga peradilan di Hongaria. Tiga pilar kekuasaan di negara itu saling menopang dengan Fidesz, partai penguasa yang juga dipimpin Orban. Dengan menguasai 68 persen kursi parlemen, Fidesz melakukan perubahan beberapa undang-undang.
Melalui perubahan undang-undang itu, jumlah hakim di mahkamah konstitusi—misalnya—ditambah dari 11 menjadi 15 orang. Empat hakim tambahan tersebut telah disiapkan partai itu. Ketentuan soal usia pensiun para hakim dan jaksa juga diturunkan, menyebabkan ratusan lowongan posisi hakim dan jaksa diisi oleh para loyalis Fidesz.
Perubahan undang-undang tersebut juga menghasilkan pembentukan Kantor Kehakiman Nasional yang diketuai Tunde Hando, teman kuliah Orban. Kantor ini memiliki kewenangan memveto promosi hakim dan memengaruhi pemilihan hakim dalam menangani kasus. Selain itu, sejak 2016, Pemerintah Hongaria merancang sistem baru administrasi pengadilan—di mana Kementerian Kehakiman bakal memegang pengaruh secara langsung—yang akan menangani berbagai hal, seperti urusan media dan pemilu.
Orban menyebut fenomena tersebut dengan istilah ”sistem kerja sama nasional”. Namun, sosiolog dan mantan Menteri Pendidikan Hongaria Balint Magyar, seperti dikutip The Economist, menyebut Hongaria sebagai negara mafia, yang dijalankan lewat klik-klik kekuasaan dengan loyalitas sebagai kredonya. Negara di bawah Fidesz, kata Magyar, pada dasarnya merupakan kendaraan untuk merebut kue ekonomi dan mendistribusikannya kpada para mitra mereka.
Situasi itulah yang membuat UE waswas. Brussels khawatir, praktik yang terjadi di Hongaria tersebut menular ke negara lain. Jika hal itu terjadi, niscaya fondasi blok tersebut bakal rapuh. Itu sebabnya UE menggelar ”persidangan” terhadap Hongaria yang, jika disepakati negara anggota lain, bisa berujung pada pembekuan keanggotaan Hongaria di UE.