BPOM dan SFDA Perkuat Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan
Selain berdiskusi mengenai tindak lanjut hasil pertemuan pertama otoritas obat negara anggota OKI, SFDA, dan BPOM, mereka juga bertukar informasi sistem pengawasan obat dan makanan di Arab Saudi dan Indonesia.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua unsur pimpinan tertinggi lembaga pengawas obat dan makanan Arab Saudi dan Indonesia melakukan pertemuan bilateral di Riyadh, Arab Saudi, Senin (30/9/2019). Dalam pertemuan tersebut, kedua negara ingin memperkuat kerja sama di bidang obat dan makanan.
CEO of Saudi Food and Drug Authority (SFDA) Hisham bin Saad Al-Jadhey, saat bertemu dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, mengatakan, ada alasan kuat latar belakang kerja sama strategis antara Arab Saudi dan Indonesia di bidang regulasi obat dan makanan. Arab Saudi dan Indonesia adalah negara Muslim dan mempunyai hubungan erat yang juga tergabung di negara anggota G-20.
”Alasan kuat lainnya, pengawasan obat dan makanan di Arab Saudi dan Indonesia dilaksanakan oleh satu lembaga independen. Selain itu, kedua lembaga pengawas obat dan makanan, SFDA dan BPOM, mempunyai kekuatan spesifik di bidangnya dan unggul di regional masing-masing sehingga dapat saling mengisi dan memberi dalam kepentingan yang mutual,” tutur Hisham bin Saad Al-Jadhey dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (5/10/2019).
Pertemuan bilateral kedua lembaga pengawas obat dan makanan tersebut dilakukan seusai acara pembukaan SFDA Annual Conference & Exhibition 2019 di Riyadh International Convention and Exhibition Center. Indonesia menjadi tamu kehormatan pada acara itu.
Penny K Lukito menyebutkan, pertemuan Kepala Badan Pengawas Obat Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)/The First Meeting of the Heads of National Medicine Regulatory Authorities (NMRAs) from Organization Islamic Cooperation (OIC) Member States yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun lalu berjalan dengan sukses karena mendapat respons antusias dari 30 negara anggota OKI yang hadir.
Untuk itu, BPOM melakukan langkah-langkah konkret terkait implementasi Deklarasi Jakarta dan rencana aksi hasil pertemuan tersebut.
”BPOM dan SFDA sepakat untuk mendukung kesinambungan forum penting ini sehingga dapat mewujudkan tujuan kemandirian suplai obat dan vaksin serta peningkatan akses dan ketersediaan obat dan vaksin yang aman, berkhasiat, berkualitas, dan terjangkau bagi masyarakat di negara anggota OKI,” ucap Penny.
Selain berdiskusi mengenai tindak lanjut hasil pertemuan pertama otoritas obat negara anggota OKI, SFDA, dan BPOM, mereka juga bertukar informasi mengenai sistem pengawasan obat dan makanan di Arab Saudi dan Indonesia.
Di bidang pangan, ujar Penny, setidaknya ada empat isu strategis yang menjadi bahan diskusi, antara lain sertifikasi halal produk pangan, kolaborasi dan kerja sama risk assessment in food, kebijakan sistem pengawasan keamanan pangan, dan program healthy food, antara lain pengaturan label gizi termasuk gula, garam, lemak, dan lemak trans, yang terkait dengan penyakit tidak menular.
”BPOM mengajak SFDA untuk menguatkan komitmen kerja sama yang sudah berjalan, termasuk untuk mendorong perdagangan kedua negara,” lanjut Penny.
Apresiasi dan ingin belajar
Selain mengapresiasi, SFDA juga ingin belajar dari BPOM yang telah memenuhi standar internasional bidang obat. Dari hasil penilaian WHO Benchmarking, BPOM telah memperoleh tingkat maturitas yang tinggi (maturity level 3 dan 4) dalam melaksanakan fungsi regulatori vaksin.
Dengan pengawalan BPOM, beberapa industri farmasi Indonesia mendapatkan status Pre-Qualification WHO (PQ-WHO) untuk produk obat dan vaksin sehingga lebih mudah menembus pasar global.
Selain itu, Hisham bin Saad Al-Jadhey mengapresiasi pencapaian BPOM menjadi anggota Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme (PIC/s) sejak tahun 2012. Hal ini menjadi salah satu poin penting kerja sama pendampingan BPOM dalam upaya SFDA bergabung dalam PIC/s.
”Kami sangat menghargai BPOM yang mau berbagi informasi dan pengalaman tentang sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia,” ucapnya.
Ia melanjutkan, pandangan tentang Indonesia dan BPOM kini berubah. Begitu banyak pencapaian yang telah diraih BPOM sehingga SFDA perlu banyak belajar dari BPOM, baik secara substansi teknis maupun pengembangan organisasi yang berkualitas dan mandiri.
Penny mengutarakan hal senada dan berkomitmen untuk bergerak maju bersama SFDA, terutama untuk mewujudkan kemandirian otoritas obat negara anggota OKI.
”SFDA dan BPOM sepakat memulai program pengembangan kapasitas untuk otoritas obat negara-negara OKI pada beberapa topik substansi pengawasan. SFDA dan BPOM juga bersepakat untuk melakukan kunjungan dalam rangka mempelajari standar, regulasi, dan kebijakan sistem pengawasan obat dan makanan di kedua belah pihak,” ujar Penny.
Dengan kerja sama SFDA dan BPOM ini, diharapkan otoritas obat negara anggota OKI lainnya akan berkomitmen untuk berkontribusi dalam implementasi rencana aksi tersebut sebagai upaya kemandirian dan akses obat dan vaksin di negara anggota OKI.
Melalui platform nota kesepahaman (MoU), kerja sama kedua negara akan terus ditingkatkan untuk memberikan kontribusi signifikan tidak hanya teknis, tetapi juga implikasinya pada hubungan kedua negara di bidang sosial, politik, dan perdagangan.