Abiy Ahmed Ali, Juru Damai Afrika yang Memperoleh Nobel Perdamaian
Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed Ali (43) sedang bertemu dengan koleganya asal Sudan, Abdalla Hamdok, ketika Komite Nobel Norwegia menetapkan dirinya sebagai penerima Nobel Perdamaian 2019, Jumat (11/10/2019) lalu.
Oleh
Benny D Koestanto
·5 menit baca
Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed Ali (43) sedang bertemu dengan koleganya asal Sudan, Abdalla Hamdok, ketika Komite Nobel Norwegia menetapkan dirinya sebagai penerima Nobel Perdamaian 2019, Jumat (11/10/2019) lalu. Setelah berperan aktif menyelesaikan konflik perbatasan Etiopia-Eritrea, Abiy menjadi mediator penyelesaian krisis politik di Sudan. Ia bertekad menyebarkan semangat perdamaian di seantero Afrika.
”Mencapai konsensus itu melelahkan, membutuhkan kecerdasan emosi dan teknis, sekaligus menuntut kesabaran. Melalui banyak lorong gelap kami bertahan, dengan keyakinan kuat bahwa upaya kolektif kami yang baik akan membuka jalan bagi munculnya kesepahaman bersama,” kata Abiy tentang pergulatannya mencari ”jalan-jalan” menuju perdamaian.
Pijakan yang sama menuju perdamaian menjadi penting untuk digali, ditemukan, dan selanjutnya dihidupi. Pijakan-pijakan itu, kata Abiy, wajib didefinisikan oleh prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, martabat, dan cinta kasih negara dan rakyatnya.
Ia yakin, esensi bagi masyarakat Afrika yang patut dipercaya dan dibangun adalah semangat untuk bekerja sama, jauh dari semangat berkompetisi satu sama lain. Kerja sama akan menyatukan perbedaan, sementara kompetisi secara negatif justru bisa menimbulkan perpecahan.
Media Inggris, Evening Standard, menilai, profil Abiy mungkin tidak setinggi Greta Thunberg atau Jacinda Ardern. Bagi sebagian publik, sosok Greta dinilai lebih berpeluang sebagai penerima Nobel Perdamaian tahun ini. Namun, prestasi Abiy tidak kalah signifikan, khususnya bagi Etiopia dan secara umum di Afrika Timur. Gaung asa dan semangat perdamaian di Afrika itulah yang juga didorong oleh Komite Nobel Norwegia dengan penobatan terhadap Abiy tahun ini. Ia dipilih dari sedikitnya 300 sosok lain calon penerima Nobel Perdamaian 2019.
Mendorong reformasi
Etiopia dan Eritrea terlibat perang perbatasan dari tahun 1998 hingga 2000. Konflik di kedua negara itu diperkirakan telah merenggut nyawa 70.000-300.000 jiwa. Eritrea pada awalnya bagian dari Etiopia, tetapi berperang demi kemerdekaan dari tahun 1961 hingga 1991.
Abiy berasal dari Oromo, kelompok etnis terbesar di negara itu, yang memelopori protes yang memaksa pendahulunya mengundurkan diri. Pemerintahan sebelumnya didominasi oleh Tigrayans, sebuah kelompok etnis kecil tapi kuat di negara itu.
Sejak menjabat PM Etiopia pada April 2018, pemerintah Abiy telah menangkap atau memecat banyak pejabat senior—terutama Tigrayan—karena korupsi atau pelanggaran. Abiy telah mendorong reformasi di dalam dan luar negeri. Penolakannya di depan umum atas aneka pelanggaran di masa lalu membentuk garis tegas antara pemerintahannya dan pemerintahan pendahulunya.
Di Etiopia, Abiy memang telah memulai reformasi penting yang memberi banyak warga negara harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan masa depan lebih cerah. Dia menghabiskan 100 hari pertamanya sebagai perdana menteri dengan mengangkat keadaan darurat negara itu. Abiy, antara lain, memberikan amnesti kepada ribuan tahanan politik, menghentikan penyensoran media, melegalkan kelompok-kelompok oposisi yang terlarang, memecat pemimpin militer dan sipil yang diduga korupsi, dan secara signifikan meningkatkan pengaruh perempuan dalam kehidupan politik dan komunitas Etiopia.
Dia juga telah berjanji untuk memperkuat demokrasi dengan mengadakan pemilihan umum yang bebas dan adil. ”Ketika kami bekerja di tingkat nasional untuk membawa perdamaian dan stabilitas ke negara kami, dengan menanamkan prinsip-prinsip dan mekanisme demokrasi, kami secara bersamaan menempatkan fondasi yang kuat untuk integrasi ekonomi, sosial, dan politik regional,” kata Abiy.
Setelah proses perdamaian dengan Eritrea, Abiy terlibat dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi lainnya di Afrika Timur dan Timur Laut. Pada September 2018, ia dan pemerintahnya berkontribusi secara aktif pada normalisasi hubungan diplomatik antara Eritrea dan Djibouti setelah bertahun-tahun mengalami permusuhan politik.
Selain itu, Abiy juga berupaya menengahi konflik berkepanjangan antara Kenya dan Somalia soal hak atas wilayah laut yang disengketakan. Dari itu, mulai terlihat adanya harapan untuk menyelesaian konflik itu.
Jika kita benar-benar berhasil mencapai dialog perdamaian dalam proses ini di wilayah kita, sisanya dapat dikelola dan dilakukan dengan mudah.
Di Sudan, rezim militer dan oposisi pun telah kembali ke meja perundingan. Pada 17 Agustus 2019, misalnya, mereka mengeluarkan rancangan bersama konstitusi baru yang dimaksudkan untuk mengamankan transisi damai ke pemerintahan sipil di negara itu. Sosok Abiy memainkan peran penting dalam proses yang mengarah pada kesepakatan itu.
”Jika kita benar-benar berhasil mencapai dialog perdamaian dalam proses ini di wilayah kita, sisanya dapat dikelola dan dilakukan dengan mudah. Jadi ini adalah berita bagus untuk Afrika, berita bagus untuk Afrika timur, tempat di mana perdamaian adalah komoditas yang sangat mahal. Dan, saya yakin itu akan memberi kita energi untuk bekerja menuju perdamaian dan mewujudkan perdamaian di wilayah kita,” ujarnya.
Juru damai
Pemerintah Etiopia menyatakan, hadiah Nobel Perdamaian 2019 akan memperkuat momentum reformasi bagi negeri itu meski tantangan ke depan tetap besar. Bagaimanapun Nobel Perdamaian dinilai sebagai sesuatu yang akan mengatalisasi upaya yang telah dilakukan Abiy dan Etiopia sejauh ini. Diharapkan hal-hal itu akan berkelanjutan, membawa Etiopia dan Afrika secara umum pada jalur kerja sama guna mencapai kemakmuran bersama.
Komite Nobel Norwegia berharap, Nobel Perdamaian akan memperkuat Abiy dalam pekerjaan pentingnya untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Etiopia adalah negara terpadat kedua di Afrika dan memiliki ekonomi terbesar di Afrika Timur. Etiopia yang damai, stabil, dan sukses akan memiliki banyak efek samping positif, dan akan membantu memperkuat persaudaraan di antara bangsa-bangsa dan masyarakat di kawasan itu.
Sebagai PM, Abiy Ahmed telah berupaya mempromosikan rekonsiliasi, solidaritas, dan keadilan sosial. Namun, banyak tantangan yang masih belum terselesaikan. Tantangan bagi Abiy tetaplah besar, termasuk di dalam negerinya. Etiopia adalah negara dengan berbagai bahasa dan kelompok masyarakat. Akhir-akhir ini, persaingan etnis lama berkobar. Para pengamat internasional memperkirakan hingga 3 juta orang Etiopia mungkin terlantar secara internal. Itu merupakan tambahan dari sekitar 1 juta pengungsi dan pencari suaka dari negara-negara tetangga. Perselisihan etnis pun terus meningkat.
Hal itu juga menjadi perhatian Komite Nobel Norwegia. Dinyatakan bahwa kondisi-kondisi itu sebagai contoh yang meresahkan dalam beberapa pekan dan bulan terakhir. Diakui pula bahwa tidak diragukan beberapa orang akan berpikir bahwa hadiah Nobel Perdamaian diberikan terlalu dini.
Namun, komite menegaskan kepercayaannya bahwa saat ini pula usaha Abiy layak mendapatkan pengakuan dan membutuhkan dukungan lebih besar sebagai pembawa harapan dan semangat perdamaian di Afrika (NOBELPRIZE.ORG/PMO.GOV.ET)
Abiy Ahmed Ali
Lahir: Beshasha, Etiopia, 15 Agustus 1976
Pendidikan:
Master bidang Transformasi Kepemimpinan dari Greenwich University, London, 2011
Master Bisnis dari Leadstar College of Management and Leadership, Addis Ababa (2013)
Doktor filsafat dari Institute for Peace and Security Studies, Addis Ababa University, Addis, Ababa University (2017)
Jabatan: Perdana Menteri Etiopia sejak 2 April 2018