Libatkan Warga Miskin dalam Perluasan Wilayah Kota
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
PENANG, KAMIS — Para perancang tata kota di Asia diingatkan agar melibatkan warga miskin dalam pengambilan keputusan dan mempertimbangkan ruang-ruang informal jika mereka serius mengatasi ketimpangan yang ada di kota.
Hal tersebut disampaikan para pakar pembangunan pada Konferensi Perkotaan yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Penang, Malaysia, Rabu (16/10/2019). Menurut PBB, lebih dari 2,3 miliar orang di Asia-Pasifik tinggal di kota. Jumlah ini diperkirakan akan mencapai hampir 3,5 miliar orang pada 2050.
Namun, sepertiga dari penduduk kota tinggal di daerah-daerah kumuh. Mereka juga terus terancam penggusuran terkait langkah-langkah para perencana dan pihak berwenang dalam memodernisasi kota. Hal itu disampaikan Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies Jakarta.
”Kota-kota di Asia sebagian besar merupakan campuran antara formalitas dan informalitas, tetapi perencanaan kota tidak pernah netral: itu semua formal vs informal, legal vs ilegal,” kata Elisa di sela-sela konferensi perkotaan itu.
”Tetapi, hak atas kota jauh lebih dari kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan dan mata pencarian; itu juga tentang informalitas dan komunitas,” lanjut Elisa.
Menurut laporan PBB yang dirilis pada awal pekan ini, tahun ini mayoritas populasi Asia-Pasifik untuk pertama kalinya menjadi urban, dengan lebih dari separuh populasi tinggal di kota-kota. ”Dengan meningkatnya tekanan pada sumber daya, seperti tanah dan air, wilayah Asia kini berupaya agar sistem perencanaan yang efektif bisa menjadi sebagai landasan kebijakan nasional,” kata Maimunah Mohd Sharif, Direktur Eksekutif UN-Habitat, badan yang menangangi masalah permukiman manusia.
Kota-kota di wilayah Asia yang menempati peringkat teratas untuk dijadikan tempat tinggal, termasuk Singapura dan juga kota-kota di Australia, Jepang, dan Korea Selatan telah melibatkan warga kotanya untuk menemukan solusi.
”Menjembatani kesenjangan digital, melibatkan kaum miskin kota, dan membangun ketahanan iklim, harus menjadi prioritas. Kita harus memastikan pemerataan sumber daya,” kata Sharif, mantan perencana kota dan Wali Kota Pulau Penang.
Mengabaikan warga miskin
Renu Khosla, Direktur Pusat Centre for Urban & Regional New Delhi, India, mengatakan bahwa sekarang ini semakin banyak perencana tata kota yang mengabaikan warga miskin dan warga paling rentan, termasuk para penghuni daerah kumuh dan pedagang kaki lima.
”Kota-kota kita tidak direncanakan untuk warga miskin. Aka tetapi, ketika kota-kota direncanakan tanpa memikirkan nasib warga miskin, akan terus bermunculan permukiman informal dan kita akan melihat lebih banyak kesenjangan,” kata Renu Khosla.
”Mungkin sudah waktunya kita tinggalkan perencanaan teritorial dan darat serta mulai merencanakan tata kota yang sesuai dengan kebutuhan warga kota itu sendiri,” ujar Khosla.
Dari Bangkok hingga Manila, ketika kota-kota di Asia ini berusaha menjadi lebih modern, pedagang kaki lima dan pedagang asongan semakin dipandang sebagai penghalang bagi perencanaan kota dan diusir dari trotoar.
Chidchanok Samantrakul dari WIEGO, sebuah organisasi nirlaba global yang membantu pekerja informal, mengatakan bahwa ruang publik haruslah dibangun untuk kepentingan semua warga masyarakat dan harus tersedia untuk semua orang. ”Setengah kota biasanya untuk kegiatan informal, baik itu pemukim informal dan pedagang kaki lima. Namun, perencana tata kota selama ini hanya fokus pada kegiatan formal. Seharusnya ada kesempatan bagi semua orang untuk hidup berdampingan,” kata Samantrakul.
Beberapa kota di wilayah Asia sekarang menggunakan Minecraft, sebuah permainan video yang memungkinkan para pemain untuk membangun dunia mereka sendiri menggunakan potongan-potongan, seperti Lego virtual, untuk membuat masyarakat ikut berpartisipasi dalam meningkatkan ruang bersama mereka di bawah program UN-Habitat.
Thu Dao Thi Bao dari Plan International menyatakan bahwa di Hanoi, ibu kota Vietnam, di mana banyak perempuan dan anak perempuan sering mengalami pelecehan di jalanan dan di angkutan umum, Minecraft digunakan untuk mengidentifikasi masalah keselamatan dan membuat ruang publik lebih aman.
”Teknologi membantu mendukung anak-anak perempuan dan perempuan dewasa. Kita harus mendorong partisipasi mereka dalam perencanaan dan manajemen kota,” kata Thu Dao Thi Bao. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)