Penyelesaian Konflik Butuh Strategi yang Efektif dan Kontekstual
Konflik terus merajalela di berbagai titik dunia. Oleh karena itu, penyelesaian konflik membutuhkan strategi yang efektif dan kontekstual karena setiap masalah memerlukan pendekatan yang berbeda.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik terus merajalela di sejumlah titik dunia. Oleh karena itu, penyelesaian konflik membutuhkan strategi yang efektif dan kontekstual karena setiap masalah memerlukan pendekatan yang berbeda.
Duta Besar Swedia untuk Indonesia Marina Berg mengatakan, konflik dan bencana alam yang terjadi menyebabkan muncul selisih 15 miliar dollar AS antara kebutuhan dan ketersediaan dana. Upaya penyelesaian konflik demi mewujudkan kedamaian perlu dipacu.
”Perdamaian dan keamanan harus dibangun. Bantuan kemanusiaan itu bukan solusi jangka panjang. Kita harus menyusun pemikiran strategis untuk mengatasinya,” kata Berg dalam pembukaan Varieties of Peace Asia Conference 2019 di Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Berg melanjutkan, riset mengenai perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan diperlukan untuk mencegah konflik kembali terjadi. Banyak elemen yang dibutuhkan untuk mewujudkan perdamaian, antara lain ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan pembagian sumber daya alam yang adil di wilayah konflik.
Direktur Varieties of Peace Anna Jarstad mengatakan, konsep perdamaian berbeda di setiap negara, bahkan di dalam kawasan negara tersebut. Namun, konsep perdamaian sejatinya tidak hanya berarti damai karena tidak ada perang.
Banyak elemen yang dibutuhkan untuk mewujudkan perdamaian, antara lain ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan pembagian sumber daya alam yang adil di wilayah konflik.
”Tidak ada definisi tunggal mengenai apa itu perdamaian. Penelitian saya di Kosovo, misalnya, warga setempat memaknai perdamaian berarti adanya interaksi yang harmonis antarwarga lintas etnis,” kata Jarstad.
Salah satu negara yang berpengalaman dalam menangani konflik untuk mewujudkan perdamaian di kawasan Asia Tenggara adalah Indonesia. Indonesia pernah menangani konflik internal yang terjadi di Kalimantan Barat, Timor Leste, Papua, dan Aceh.
Mantan Kepala Negosiator Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hassan Wirajuda menyampaikan, dalam isu Aceh, GAM berupaya untuk menyuarakan kemerdekaan dari Indonesia. Ia pun mengidentifikasi sumber kemunculan konflik, yaitu ketidakadilan ekonomi dan kepemimpinan pemerintah pusat yang terlalu kuat di masa Orde Baru.
”Untuk menyelesaikan masalah, ada beberapa tahapan negosiasi. Kami meminta beberapa organisasi non-pemerintah lainnya untuk memfasilitasi pembicaraan di antara kedua pihak,” kata Hassan yang juga mantan Menteri Luar Negeri Indonesia.
Menurut Hassan, penyelesaian konflik di Aceh terwujud berkat terjadinya reformasi dan keterbukaan pemerintah setelah reformasi untuk berdialog. Ruang dialog memberikan ide baru dalam menyelesaikan masalah.
Penyelesaian konflik di Aceh terwujud berkat terjadinya reformasi dan keterbukaan pemerintah setelah reformasi untuk berdialog.
Konflik lain yang masih terjadi di Indonesia adalah isu kemerdekaan Papua, sama seperti yang terjadi di Aceh. Menurut Hassan, akar permasalahan Aceh dan Papua sebenarnya hampir sama, yaitu ketidakadilan ekonomi dan pendekatan pemerintah pusat yang kurang tepat.
Namun, penyelesaian konflik kedua provinsi memerlukan pendekatan yang berbeda. Salah satu solusi yang dapat diterapkan di Papua adalah memberikan para intelektual di Papua peran strategis di tingkat nasional.
”Konflik akibat isu kemerdekaan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal ini juga terjadi di Skotlandia yang ingin merdeka dari Inggris Raya dan Catalunya dari Spanyol,” kata Hassan.
Peran perempuan
Berg melanjutkan, penyelesaian konflik dan pencapaian perdamaian perlu menyertakan peran perempuan. ”Riset menunjukkan, pendekatan yang sensitif jender menciptakan komunitas yang berkelanjutan karena tingkat kekerasan di masyarakat turun,” ujarnya.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, menambahkan, berbeda dengan negara barat lainnya, penyertaan perempuan di ASEAN dalam penyelesaian konflik masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah keberadaan nilai ketimuran yang mengedepankan peran laki-laki dalam tatanan masyarakat.
”ASEAN khususnya perlu mengarusutamakan agenda penyertaan perempuan dalam perdamaian dan keamanan dalam isu lintas sektoral. Dengan demikian, itu dapat meningkatkan status perdamaian di ASEAN menjadi positif,” ujarnya.