Populasi dunia diperkirakan bakal makin terkonsentrasi di perkotaan. Para perancang kota dan pemerintah kota dituntut kreatif dan inovatif menemukan solusi masalah akibat lonjakan jumlah populasi di perkotaan.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·5 menit baca
Populasi dunia diperkirakan bakal makin terkonsentrasi di perkotaan. Para perancang kota dan pemerintah kota dituntut kreatif dan inovatif menemukan solusi masalah akibat lonjakan jumlah populasi di perkotaan.
Pada tahun 2050 diperkirakan 70 persen—naik dari angka saat ini, 56 persen—populasi dunia akan tinggal di perkotaan. Kota-kota di dunia akan menghadapi sejumlah tantangan serius, seperti semakin menyempitnya ruang, kesenjangan kaya-miskin, kriminalitas, dan perubahan cuaca. Di negara-negara miskin, banyak kota juga menghadapi masalah semakin bertambahnya warga permukiman-permukiman kumuh.
Berbagai upaya dan terobosan telah dilakukan kota-kota di dunia untuk menjadi ”kota cerdas” agar bisa mengatasi masalah-masalah akibat ledakan populasi di perkotaan. Di antara terobosan itu, misalnya, memindahkan gudang dan fasilitas ritel di bawah tanah, menggunakan data dan teknologi untuk meningkatkan pengamanan, layanan kesehatan, dan mobilitas.
Dari Singapura hingga kawasan sub-Sahara Afrika, banyak kota kehabisan ruang untuk menampung populasi yang terus bertambah. ”Menggunakan ruang dengan cara seefisien mungkin kini sangat penting,” kata Philipp Rode, ahli perkotaan dari pusat penelitian LSE Cities di London.
Menurut sebuah laporan yang diterbitkan World Resources Institute dan Yale University pada Januari 2019, dalam sejarah, kota-kota cenderung tumbuh melebar daripada ke atas. Jika tidak terkendali, ekspansi dengan tumbuh melebar dapat membuat kota kian sulit memberikan layanan dasar bagi warga. Perjalanan ke sekolah atau perjalanan dokter menjadi lebih lama.
Tumbuh ke bawah
Di beberapa kota, untuk mengatasi makin sempitnya ruang, sejumlah fasilitas dibangun di bawah tanah. Bukan hanya jaringan kereta bawah tanah, melainkan juga fasilitas komersial, ritel, dan gudang. Di Hong Kong, yang dikenal kota dengan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, ada kebutuhan mendesak untuk memaksimalkan penggunaan ruang bawah tanah.
Pemerintah Hong Kong berjanji memenuhi kebutuhan tempat tinggal warganya dengan membangun pulau-pulau reklamasi. Mereka juga tengah memanfaatkan ruang bawah tanah untuk fasilitas pengolahan limbah, pusat data, waduk air, pembangkit listrik, krematorium, dan fasilitas olahraga.
”Cara ini menghasilkan penggunaan ruang yang lebih efisien dan menghindari kekacauan lalu lintas dan gangguan cuaca di atas tanah,” kata Mark Wallace, Direktur Infrastruktur Arup, lembaga konsultan pengembangan ruang bawah tanah di Hong Kong.
Kota-kota lain juga tumbuh dengan membangun fasilitas di bawah tanah. Helsinki, ibu kota Finlandia, memindahkan fasilitas olahraga dan tempat penampungan darurat di bawah tanah. Kota Montreal di Kanada memiliki jaringan toko dan hotel, fasilitas pejalan kaki yang luas di bawah tanah.
Pada Desember 2018, miliarder Elon Musk meluncurkan terowongan sepanjang 1,8 kilometer di Los Angeles, AS, yang digali dengan teknologi baru yang cepat dan berbiaya rendah, sebagai upaya mengembangkan jaringan untuk kendaraan berkecepatan tinggi di bawah tanah.
Menurut Wallace, meskipun membangun di bawah tanah lebih mahal, ada penghematan dalam pemeliharaan dan biaya pembebasan lahan. Namun, beberapa peneliti memperingatkan bahwa hidup di bawah tanah bukanlah pengganti dari penggunaan lahan dengan perencanaan yang baik. ”Tubuh manusia butuh cahaya matahari, jadi hidup di bawah tanah tak akan berhasil,” kata Euan Mills, pemimpin desain dan perencanaan kota di Future Cities Catapult, salah satu pusat inovasi di Inggris.
Isu lain yang harus diperhatikan ketika kota mencari ruang untuk tumbuh, yakni bagaimana perkembangan kota memengaruhi kesenjangan sosial. ”Di kota-kota yang berkembang pesat, perbedaan antara kaya dan miskin meningkat,” kata Rode.
Masalah keamanan
Menurut Bank Dunia, di Afrika Selatan, warisan perencanaan kota era apartheid dan pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat telah berkontribusi menciptakan pendapatan warga yang makin tidak setara. Ketidaksetaraan itu dapat memicu kejahatan. Seperti diketahui, Afrika Selatan terkenal dengan angka pembunuhan tertinggi di dunia.
Untuk mengatasi kejahatan, sejumlah kota di Brasil, Kolombia, Meksiko, Venezuela, dan beberapa negara di Amerika Tengah, kini menggunakan metode baru melalui proyek-proyek sosial.
Situasi seperti itu sekaligus menuntut penanganan serius untuk mengatasi kejahatan dan masalah keamanan. Bukan hanya meningkatkan pengamanan dengan mengandalkan polisi untuk mengatasi kejahatan, sejumlah kota di Brasil, Kolombia, Meksiko, Venezuela, dan beberapa negara di Amerika Tengah, kini menggunakan metode baru melalui proyek-proyek sosial.
Di kota Medellin, Kolombia, misalnya, pendekatan itu dijalankan dengan merehabilitasi permukiman kumuh di perkotaan dengan menyediakan taman, gym terbuka, sekolah, taman bermain, dan ruang komunitas. ”Investasi berkelanjutan di daerah-daerah kumuh, dikombinasikan peningkatan kesiagaan kepolisian, alternatif rekreasi, seperti program- program seusai sekolah tampaknya bisa mengurangi kasus pembunuhan,” kata Robert Muggah, salah satu pendiri Igarape Institute di Brasil.
Eksperimen kota cerdas
Di tengah urbanisasi yang cepat dan ancaman perubahan iklim yang memburuk, banyak kota di seluruh dunia berusaha menjadi ”lebih pintar”. Berbagai upaya di kota-kota itu, antara lain, berfokus pada peningkatan mobilitas warganya. Para perencana kota mencari cara-cara inovatif untuk menyederhanakan lalu lintas dan mengurangi emisi pemanasan iklim.
Dubai, Uni Emirat Arab, tengah bereksperimen dengan menyediakan kendaraan-kendaraan tanpa sopir. Kendaraan berbentuk kubus, yang dioperasikan NEXT Future Transportation Inc dari AS itu dapat memuat hingga 10 orang.
Adapun Kenya merancang Konza Technopolis, kota baru senilai 14,5 miliar dollar AS yang akan dibangun sekitar 60 kilometer di tenggara Nairobi yang sangat padat. Kota itu dibangun dengan tujuan menampung 20.000 orang pada tahun 2020. Dijuluki ”Silicon Savannah”, Konza bertujuan menjadi pusat teknologi modern. Sayangnya, bangunan pertama belum selesai karena masalah birokrasi dan kurangnya dana.
Lavasa, kota pertama dari rancangan berbiaya 7,5 miliar dollar AS untuk menyulap 100 pusat kota menjadi ”Kota-kota Cerdas” pada tahun 2020, menghadapi kendala terkait desain, serta dinilai mengabaikan warga miskin dan kelompok-kelompok warga tertentu.
”Para perancang tata kota, bukan kotanya, yang dituntut harus cerdas,” kata Euan Mills dari lembaga Future Cities