Jordania-Israel, 25 Tahun Hubungan Damai yang Dingin
Di tengah perubahan luar biasa geopolitik Timur Tengah, sejarah mencatat bahwa Sabtu kemarin, 26 Oktober 2019, genap 25 tahun usia perdamaian Jordania-Israel. Namun, bisa dikata, hubungan damai selama 25 tahun itu terasa hambar.
Seperempat abad silam, pada 26 Oktober 1994 di Lembah Arava, Jordania, disaksikan Presiden AS Bill Clinton dan para tamu undangan dari mancanegara, almarhum Raja Hussein bin Talal dari Jordania dan mendiang Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin menandatangani pakta perdamaian yang mengakhiri permusuhan Jordania dan Israel.
Jordania saat itu pun menjadi negara Arab kedua setelah Mesir yang secara resmi menandatangani kesepakatan damai dengan Israel. Mesir dan Israel menandatangani kesepakatan damai di Camp David, AS, tahun 1979.
Keputusan berani Raja Hussein mengikuti jejak Mesir berdamai dengan Israel diambil setelah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menandatangani kesepakatan damai dengan Israel, yang dikenal dengan kesepakatan Oslo tahun 1993.
Meski sering dilansir bahwa Raja Hussein kerap menggelar pertemuan rahasia dengan para pemimpin Israel di Eropa atau AS, raja Jordania itu harus menunggu kesepakatan Oslo untuk menandatangani kesepakatan damai secara resmi dengan Israel.
Kesepakatan Oslo saat itu dijadikan legitimasi oleh Raja Hussein kepada rakyat Jordania bahwa sudah tiba saatnya Jordania mencapai kesepakatan damai dengan Israel, seperti halnya PLO. Hal itu dilakukan Raja Hussein untuk mencegah resistensi rakyat Jordania terhadap kesepakatan damai Jordania-Israel mengingat sebagian besar penduduk Jordania, yakni 60-70 persen, berasal dari Palestina. Kini penduduk Jordania tercatat sekitar 10,4 juta jiwa.
Meski Raja Hussein berhasil meyakinkan rakyat Jordania tentang pentingnya kesepakatan damai dengan Israel, hubungan damai kedua negara itu menjadi hubungan damai yang dingin, seakan- akan tidak ada kesepakatan damai yang sudah berusia 25 tahun.
Persepsi Jordania
Rakyat Jordania sampai saat ini masih melihat Israel sebagai negara musuh. Mereka tidak melihat adanya manfaat di lapangan dalam hubungan damai Jordania-Israel tersebut.
Belum selesainya isu Palestina, dalam bentuk berdirinya negara Palestina di atas tanah 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur, menjadi faktor utama dinginnya hubungan Jordania-Israel. Ambruknya perundingan damai Palestina- Israel sejak 2014 dan tidak adanya harapan ada solusi Palestina dalam waktu dekat turut andil membuat hubungan Jordania-Israel kian dingin.
Rakyat Jordania sampai saat ini masih melihat Israel sebagai negara musuh. Mereka tidak melihat adanya manfaat di lapangan dalam hubungan damai Jordania-Israel tersebut.
Bahkan, Jordania melihat Israel semakin mengancam keamanan nasionalnya menyusul penegasan PM Israel Benjamin Netanyahu saat kampanye pemilu bahwa Israel akan menganeksasi Lembah Jordan jika ia memenangi pemilu. Lembah Jordan adalah lembah subur di Tepi Barat di perbatasan langsung dengan Jordania.
Raja Abdullah II—yang menggantikan bapaknya, Raja Hussein, tahun 1999—saat ini menolak bertemu Netanyahu menyusul macetnya perundingan damai Palestina-Israel dan ancaman Netanyahu menganeksasi Lembah Jordan.
Dalam konteks hubungan bilateral Jordania-Israel, sebagian besar proyek ekonomi Jordania-Israel yang termaktub dalam klausul perjanjian damai kedua negara itu tidak berjalan. Rakyat Jordania tak merasakan manfaat perjanjian itu.
Di tengah dinginnya hubungan Jordania-Israel saat ini, pemerintah dan rakyat Jordania menunggu Israel mengembalikan dua wilayah pertanian subur Jordania, yakni area pertanian Baqura dan Al-Ghamr, yang disewa Israel selama 25 tahun sejak penandatanganan kesepakatan damai. Selama ini petani Israel memanfaatkan dua wilayah pertanian subur itu untuk bercocok tanam.
Tenggat waktu sewa dua wilayah Jordania oleh Israel tersebut berakhir, Sabtu, 26 Oktober 2019. Akad sewa antara Jordania dan Israel atas wilayah Baqura dan Al-Ghamr adalah bagian dari klausul kesepakatan damai kedua negara. Dalam klausul kesepakatan itu ditegaskan, wilayah Baqura dan Al-Ghamr harus diserahkan kepada Jordania oleh Israel selambat-lambatnya 15 hari setelah berakhirnya perjanjian sewa atau 10 November nanti jika Jordania tidak menghendaki memperpanjang kontrak sewa.
Baqura terletak di Jordania utara, berbatasan dengan Tepi Barat (Palestina). Adapun Al- Ghamr terletak di Jordania selatan, berbatasan dengan Gurun Negev, Israel. Israel mengklaim sedang berunding dengan Pemerintah Jordania untuk memperpanjang sewa wilayah Baqura dan Al-Ghamr. Namun, Pemerintah Jordania sejak tahun lalu menegaskan tidak ingin memperpanjang sewa dua wilayah pertanian subur itu.
Pemerintah Jordania mengancam, jika Israel menunda-nunda penyerahan Baqura dan Al-Ghamr, Jordania akan menempuh jalur hukum dengan membawa kasus tersebut ke pengadilan internasional.
Pemerintah Jordania sejak tahun lalu menegaskan tidak ingin memperpanjang sewa dua wilayah pertanian subur Baqura dan Al-Ghamr kepada Israel.
Jordania akan mengikuti jejak Mesir yang berhasil mengembalikan wilayah Taba di Semenanjung Sinai Selatan dari Israel melalui jalur hukum di pengadilan internasional tahun 1987. Jordania juga akan menggunakan nilai strategis geografisnya dalam konteks geopolitik saat ini untuk menekan Israel agar menyerahkan Baqura dan Al-Ghamr sesuai jadwal waktu, yakni 10 November 2019.
Penyangga
Di mata Israel saat ini, Jordania memiliki nilai sangat penting sebagai penyangga di perbatasan timurnya melawan pengaruh kaukus Iran dan kubu Turki-Qatar. Israel menghendaki Jordania tetap kuat berada di barisan kubu Arab Saudi-Mesir-Uni Emirat Arab (UEA), yang satu visi dengan Israel dalam konteks pertarungan geopolitik melawan kubu Iran dan kubu Turki-Qatar.
Israel melihat Jordania secara geografis sangat strategis karena akan menjadi poros yang tersambung dari Tel Aviv, Amman, Riyadh, hingga Abu Dhabi. Israel sangat cemas jika Jordania jatuh ke pangkuan kubu Turki-Qatar atau dekat dengan kubu Iran. Israel kini melihat Iran sebagai musuh besarnya di kawasan.
Selain itu, Tel Aviv sedang mengalami hubungan buruk dengan Turki.
Karena itu, Israel akan berusaha dengan segala cara agar Jordania jauh dari Iran atau Turki-Qatar supaya tidak menambah beban Israel yang kini sudah berat menghadapi kaukus Iran di Suriah dan Lebanon.
Israel bisa jadi akan mempermudah penyerahan Baqura dan Al-Ghamr kepada Jordania, dengan imbalan Jordania menjamin keamanan Israel di perbatasan timurnya dengan menjauhi Iran dan Turki-Qatar.