SINGAPURA, Rabu— Di tengah aneka upaya untuk meningkatkan sumber dan penggunaan energi ramah lingkungan atau terbarukan, ketergantungan Asia Tenggara terhadap energi fosil ternyata masih besar. Bahkan laporan Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan hingga tahun 2040, kebutuhan energi fosil justru meningkat.
Dalam laporan yang dirilis, Rabu (30/10/2019) di Singgapura, IEA memperingatkan, Asia Tenggara akan menjadi importir neto bahan bakar fosil dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini akan semakin meningkatkan beban keuangan pada pemerintah dan meningkatkan emisi karbon di kawasan ini.
Laporan IEA ini muncul meskipun ada ekspektasi soal pertumbuhan yang lebih lambat dalam permintaan energi di kawasan karena ekonomi bergeser ke sektor jasa dan manufaktur yang kurang intensif energi, serta efisiensi yang lebih besar. Asia Tenggara sudah menjadi importir neto minyak sebesar 4 juta barel per hari (bph) pada 2018.
Pada tahun 2040, ketergantungan keseluruhan kawasan pada impor minyak diperkirakan melebihi 80 persen.
Naiknya ketergantungan pada impor meningkatkan kekhawatiran tentang keamanan energi. Pada tahun 2040, ketergantungan keseluruhan kawasan pada impor minyak diperkirakan melebihi 80 persen, naik 15 persen dibandingkan kondisi saat ini.
Tanpa perubahan kebijakan, permintaan energi Asia Tenggara diperkirakan tumbuh 60 persen pada tahun 2040, atau setara 12 persen dari kenaikan penggunaan energi global.
Tercepat
Menurut IEA, pertumbuhan permintaan listrik di Asia Tenggara rata-rata 6 persen per tahun, termasuk yang tercepat di dunia. Namun, sekitar 45 juta orang di Asia Tenggara masih kekurangan akses listrik. Kawasan ini sedang berupaya memenuhi kebutuhan listrik bagi seluruh warganya pada tahun 2030.
IEA juga mencatat permintaan akan batubara juga diproyeksikan terus meningkat selama beberapa dekade mendatang, sebagian besar dipicu pembangkit listrik tenaga batubara baru meskipun ada tantangan yang dihadapi proyek-proyek seperti itu, termasuk meningkatnya kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan kompetitif untuk fasilitas baru.
Permintaan minyak di Asia Tenggara yang berpenduduk hampir 10 persen populasi dunia akan melampaui 9 juta bph pada tahun 2040, naik dari hanya di atas 6,5 juta bph saat ini.
Energi angin dan matahari diperkirakan tumbuh dengan cepat.
Meskipun demikian, Asia Tenggara tidak berdiam diri. Upaya meningkatkan produksi energi terbarukan terus berkembang. Energi angin dan matahari diperkirakan tumbuh dengan cepat, sementara tenaga air dan bioenergi modern—termasuk biofuel, biomassa, biogas, dan bioenergi yang berasal dari produk limbah lainnya—akan tetap menjadi andalan dari portofolio energi terbarukan Asia Tenggara.
Menurut IEA, energi terbarukan diatur untuk memainkan peran yang lebih besar, tetapi tanpa kerangka kerja kebijakan yang lebih kuat, peningkatan sumber energi terbarukan dalam pembangkit listrik hanya akan naik menjadi 30 persen pada tahun 2040, dari 24 persen saat ini.
Selain itu, IEA juga mencatat implementasi penggunaan kendaraan listrik dengan pengecualian sebagian dari kendaraan roda dua dan tiga merupakan terobosan yang terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sedikit perubahan terjadi di Asia Tenggara. (REUTERS)