25 Negara Kepulauan Kembangkan Ekowisata Berkelanjutan
Sebanyak 25 negara anggota Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau menyatakan komitmen untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 25 negara anggota Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau menyatakan komitmen untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Untuk menjaga keberlangsungan kerja sama, semua negara sepakat mengembangkan forum ini dari tingkat menteri ke tingkat kepala negara dan pemerintahan.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau (AIS) yang kedua di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (1/11/2019). Pertemuan ini diinisiasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sejak 2018. Beberapa perwakilan negara yang hadir antara lain Bahrain, Komoro, Fiji, Irlandia, Jamaika, Filipina, Seychelles, dan Inggris.
Saat ini, negara kepulauan menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, seperti polusi laut dan pemutihan terumbu karang.
Ke-25 negara menyepakati pariwisata sebagai tumpuan pertumbuhan ekonomi. Namun, pariwisata juga bisa merusak lingkungan jika aspek keberlanjutannya tak diperhatikan.
”Saat ini, negara kepulauan menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, seperti polusi laut dan pemutihan terumbu karang. Kehidupan bawah laut harus kita jaga sebagai kekayaan dunia. Saya melihat komitmen kuat dari negara-negara yang hadir untuk berkolaborasi,” tutur Menko Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan.
Menjaga kehidupan bawah laut merupakan salah satu butir Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-14. Menurut Luhut, pariwisata bahari yang berkelanjutan juga bisa mengatasi kemiskinan di negara-negara AIS, sesuai TPB ke-1.
Oleh karena itu, perwakilan tiap negara menyepakati Janji Ekowisata (Pledge to Ecotourism). Negara anggota Forum AIS akan mengembangkan pariwisata sambil memperhatikan budaya masyarakat lokal terkait lingkungan, mengurangi sampah di laut, serta melindungi ekosistem bahari dan pesisir.
Ini forum internasional yang masih baru, belum sejauh organisasi besar lainnya.
Di samping itu, negara-negara AIS akan mempromosikan produk-produk masyarakat wilayah destinasi serta melindungi anak-anak dari eksploitasi anak akibat pariwisata. Capaian setiap negara akan dibahas dalam pertemuan Forum AIS berikutnya. ”Negara tak lagi bisa bekerja sendiri-sendiri,” kata Luhut.
Meski demikian, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Purbaya Sadewa menyebutkan, Forum AIS belum menyepakati indikator khusus soal keberhasilan program yang disepakati. ”Ini forum internasional yang masih baru, belum sejauh organisasi besar lainnya,” katanya.
Untuk sementara, pertemuan ini menjadi forum berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam mengatasi masalah lingkungan di negara kepulauan dan pulau. Perwakilan Indonesia, misalnya, berbagi tentang mengatasi penurunan tanah di Demak, Jawa Tengah.
Sebaliknya, Indonesia belajar tentang kriminalisasi penggunaan plastik sekali pakai dari Jamaika atau deklarasi wisatawan untuk menjaga lingkungan di Palau. Seychelles juga membagikan pengalaman menerapkan obligasi biru (blue bond) untuk pendanaan konservasi laut.
Tahun depan, semua negara juga sepakat meningkatkan level pertemuan menjadi tingkat tinggi, yang menghadiri presiden atau perdana menteri.
Kendati begitu, Purbaya menyadari, negara-negara AIS enggan meneruskan kerja sama jika tiada keuntungan jangka panjang bagi kepentingan nasional masing-masing. Dari 47 negara yang tercatat sebagai anggota Forum AIS, hanya 25 yang menghadiri pertemuan tahun ini.
”Mereka tidak mau kalau ngomong-ngomong doang. Jadi, secara bertahap, kami akan buat target-target yang harus dicapai. Tahun depan, semua negara juga sepakat meningkatkan level pertemuan menjadi tingkat tinggi, yang menghadiri presiden atau perdana menteri,” tuturnya.
Purbaya menambahkan, Pemerintah Indonesia berusaha mewacanakan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, pemanasan global, dan pencemaran sebagai ancaman eksistensial terhadap negara. ”Ini menjadi perekat. Kalau negara kepulauan dan pulau bersatu, bisa memengaruhi kebijakan global di PBB,” ujarnya.
Menteri Pariwisata Maladewa Ahmed Solih sependapat. Menurut dia, isu-isu yang dibahas di Forum AIS sangat relevan bagi Maladewa yang terdiri atas 1.200 pulau. ”Ekowisata, polusi, dan perikanan adalah isu-isu yang dihadapi semua negara Forum AIS. Sangat penting untuk punya platform diskusi seperti ini,” ucapnya.
Menurut Solih, Pemerintah Indonesia juga mengadakan konferensi usaha rintisan (start up) untuk menemukan solusi kreatif dari anak muda. ”Generasi muda perlu mendapat lebih banyak ruang untuk menyelesaikan masalah negara kepulauan,” katanya.
Menteri Perencanaan dan Investasi Timor Leste Xanana Gusmao juga mengapresiasi kepemimpinan Indonesia di forum ini. Indonesia pun terus dianggap sebagai salah satu mitra penting. ”Sangat baik untuk bisa memiliki forum untuk saling berbagi ide dan mencari penyelesaian dengan berpikir kritis,” katanya.
Direktur Program Pembangunan PBB (UNDP) di Indonesia Christophe Bahuet mengatakan, Indonesia telah menjadi mitra yang baik bagi UNDP dalam memulai program multilateral. ”Sangat baik karena negara maju dan berkembang dari berbagai kawasan bisa berkumpul di sini. Sektor privat dan anak muda juga dilibatkan,” kata Bahuet.
Tahun ini, Pemerintah Indonesia telah menggelontorkan dana 1 juta dollar AS untuk membuat Sekretariat AIS Forum. Kerja sama Forum AIS saat ini mencakup mitigasi perubahan iklim, ekonomi biru, penyelesaian polusi laut, pengelolaan bahari yang baik (good marine governance), hingga usaha rintisan.