Xi Jinping Janjikan Pasar China Lebih Terbuka bagi Produk Asing
Pemerintah China kembali menegaskan diri untuk lebih terbuka dalam ekonomi, perdagangan, sekaligus dalam perannya sebagai pasar secara global. Namun, tidak diungkap inisiatif Beijing terkait kebijakan teknologinya.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
SHANGHAI, RABU — Pemerintah China kembali menegaskan diri untuk lebih terbuka dalam ekonomi, perdagangan, sekaligus dalam perannya sebagai pasar secara global. Penegasan itu disampaikan Presiden Xi Jinping pada Selasa (5/11/2019). Meskipun demikian, Xi tidak mengungkapkan inisiatif Beijing terkait kebijakan teknologi dan gangguan lainnya yang memicu perang tarif dengan Washington.
Xi hadir dan berpidato dalam pembukaan China International Import Expo yang kedua. Pameran itu menyajikan aneka produk di pasar impor negara berpopulasi 1,4 miliar orang tersebut. Pameran tersebut sekaligus menjadi sarana Beijing menepis keluhan beberapa pihak yang menuding negara itu secara tidak wajar menyubsidi industrinya dan melindunginya dari persaingan.
Pameran tersebut juga menawarkan platform pemasaran untuk pemasok barang asing, mulai dari anggur hingga kapal pesiar. ”Pintu yang dibuka China bakal semakin terbuka dan lebih luas,” kata Xi dalam pidato pada acara yang dihadiri sejumlah pemimpin dunia, antara lain yaitu Presiden Perancis Emmanuel Macron serta beberapa perdana menteri dari Yunani, Jamaika, dan Serbia.
Xi menegaskan janjinya mengurangi pembatasan investasi asing dan tawarannya—yang pertama kali dibuat pada Juni—untuk mempercepat proses menuju perjanjian investasi China-Eropa.
Beijing selama dua tahun terakhir telah mengumumkan rencana untuk membuat ekonominya yang didominasi negara menjadi lebih produktif. Di antara rencana-rencana itu, antara lain, memotong tarif impor dan menghapuskan batas kepemilikan asing di bidang manufaktur mobil, keuangan, dan bidang-bidang lainnya.
Meski demikian, tidak ada dalam rencana-rencana tersebut yang secara langsung menangani keluhan AS dan Eropa terkait kebijakan teknologi China dan isu-isu lainnya yang mendorong Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor China. Padahal, masalah kebijakan teknologi China dan isu-isu itulah yang memicu perang dagang yang mengancam pertumbuhan ekonomi global.
Dalam pidatonya, Xi tidak menyebut isu perang dagang dengan Washington. Ia menyerukan pembangunan dan ”ekonomi dunia yang terbuka dan berbagi”.
Terkait pidato Xi, Macron mengatakan bahwa masuknya produk ke China harus ”dipercepat, dibuat lebih transparan”. Dia juga menyerukan perlakuan yang sama dalam subsidi dan pemulihan hukum. Macron menyatakan harapannya agar penyelesaian perang dagang AS-China akan ”melindungi kepentingan mitra dagang utama China dan AS lainnya, dimulai dengan Uni Eropa”.
Sementara itu, terkait perang dagang, negosiator Amerika Serikat dan China mengumumkan apa yang pada 12 Oktober lalu disebut Trump sebagai perjanjian ”Fase 1” setelah pembicaraan di Washington. Negosiator kedua pihak diberitakan tengah merundingkan rincian perjanjian tersebut.
Namun, kedua pihak telah menyebutkan tidak ada kemajuan dalam perselisihan dagang di antara mereka. Para ekonom pun memperkirakan penyelesaian akhir tidak mungkin terjadi tahun ini.
Pada telekonferensi dengan wartawan, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan, dia cukup optimistis bahwa pembicaraan fase pertama itu akan selesai. Masalah yang lebih sulit justru akan terjadi pada putaran perundingan selanjutnya. ”Kami berharap fase pertama ini akan menjadi pendahulu dari perjanjian selanjutnya,” kata Ross.
Xi dan Trump sejatinya bakal bertemu pada pertemuan bulan ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Chile. Namun, acara itu dibatalkan tuan rumah Chile menyusul eskalasi aksi-aksi unjuk rasa di negara tersebut. Ross mengatakan, kedua belah pihak mencari lokasi lain untuk penandatanganan kesepakatan fase pertama.
Sementara UE sedang mencari kemajuan ”nyata dan substansial” pada perjanjian investasi sebelum KTT UE-China pada paruh kedua tahun 2020. Hal itu diungkapkan delegasi UE di Beijing.
”Kami ingin perjanjian ambisius yang memberikan akses pasar yang lebih luas, perlindungan investasi yang kuat, prediktabilitas yang lebih besar bagi perusahaan kami, dan komitmen pada keberlanjutan,” demikian bunyi pernyataan delegasi UE.
Beijing tengah berusaha menopang permintaan konsumen setelah pertumbuhan ekonominya merosot ke level 6 persen secara tahunan pada triwulan terakhir. Partai Komunis China, yang memerintah di negara itu, mencari sektor konsumsi guna mendorong pertumbuhan ekonomi, menggantikan perdagangan dan investasi.
Namun, para investor tidak nyaman dengan perang dagang. Selain itu, muncul kekhawatiran soal kemungkinan kehilangan pekerjaan. Warga juga mengonsumsi lebih sedikit barang. Akibatnya, penjualan mobil ataupun real estat pun anjlok.
Impor China turun 5 persen dibanding dari tahun sebelumnya dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Hal itu berarti turun dari pertumbuhan dua digit pada tahun-tahun sebelumnya. Impor kedelai AS dan barang-barang lainnya pun turun 26,4 prsen setelah kenaikan tarif China dan pesanan ke importir untuk mencari pemasok lain.
Kelompok-kelompok bisnis menyambut akses yang lebih besar ke konsumen China, tetapi menyatakan frustrasi karena Beijing menghilangkan pembatasan pasar satu per satu alih-alih membuka perekonomiannya.
Banyak perubahan dalam industri dengan pesaing China. Pendatang baru menghadapi persyaratan modal minimum yang tinggi dan pembatasan lainnya. Pekan raya impor pekan ini ini menyoroti penekanan Beijing pada perdagangan makanan dan barang-barang manufaktur, area yang didominasi oleh pabrik-pabrik China.
Mitra dagang China mengeluhkan barang yang sudah lama. Mereka menginginkan lebih banyak akses ke industri keuangan, perawatan kesehatan, dan layanan lainnya, serta mengakhiri pembatasan yang menghalangi sebagian besar pembelian perusahaan asing China dan aset lainnya. (AP)