Robohnya Tembok Berlin ternyata bukanlah akhir dari sejarah, seperti dikatakan Francis Fukuyama. Tembok-tembok imajiner baru telah bermunculan dan respons dunia terhadapnya akan menjadi catatan lembaran sejarah baru.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Sekat ideologi ikut runtuh ketika Tembok Berlin dirobohkan, 9 November 1989. Tetapi, kini Eropa dan dunia justru menghadapi tembok imajiner yang tak kalah kukuhnya.
Tiga puluh tahun silam, Tembok Berlin yang membelah kota dan memisahkan warganya runtuh. Sebanyak 16 juta warga Jerman Timur pun memasuki era baru bernama demokrasi.
Ketika kalah dalam Perang Dunia II, Jerman dibagi ke dalam empat zona pendudukan di bawah kendali para pemenang perang, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet. Jerman terbelah, bagian timur berada di bawah pengaruh Uni Soviet dan bagian barat di bawah pengaruh Sekutu. Kota Berlin berada di tengah-tengahnya.
Sejak 1961, Tembok Berlin jadi simbol fisik polarisasi antara ideologi demokrasi Barat dan komunisme Uni Soviet dan berlangsung selama Perang Dingin. Keruntuhannya kemudian dilihat sebagai kemenangan demokrasi Barat.
Ilmuwan Francis Fukuyama dalam bukunya, The End of History and the Last Man tahun 1992, menyatakan, runtuhnya Tembok Berlin bukan sekadar akhir dari Perang Dingin. Itu menjadi akhir sejarah dan akhir evolusi ideologi manusia serta gambarfan universalisasi demokrasi liberal Barat, dan merupakan bentuk akhir pemerintahan manusia. Beberapa minggu setelah Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989, muncul transisi damai menuju pemerintahan demokratis di Eropa, seperti Cekoslovakia, Romania, dan Bulgaria.
Uni Soviet tak lagi memberikan dukungan pada kediktatoran komunis di Eropa timur. Negara-negara baru di wilayah kekuasaan Uni Soviet bermunculan.
Di tengah iklim demokrasi itulah, tahun 1993, negara-negara di Eropa membuka diri dan bersatu membentuk Uni Eropa (UE) melalui Perjanjian Maastricht, 7 Februari 1992.
Namun, kini UE dengan 28 negara anggota bakal menjadi 27 negara anggota jika Inggris jadi keluar (Brexit).
Titik balik
Dan pada abad ke-21, perang tetap terjadi di berbagai belahan dunia, mulai dari Afrika, Eropa, hingga Timur Tengah. Konflik kemudian membawa konsekuensi besar pada Eropa akibat terjadinya migrasi besar-besaran.
Pada tahun 2015, Kanselir Jerman Angela Merkel yang tumbuh besar di Jerman Timur mengumumkan, Jerman membuka pintu perbatasannya bagi pengungsi asal Suriah, Irak, dan Afghanistan. Eropa pun menghadapi gelombang migrasi besar. Sekitar 1 juta migran memasuki Eropa menuju Jerman.
Arus migrasi yang besar itu menempatkan Eropa pada krisis migrasi. Di saat seperti itu, respons negara-negara UE tidak sama. Hongaria, misalnya, membangun tembok untuk mencegah migran. Mayoritas negara memperketat kebijakan migrasinya.
”Uni Eropa tak menunjukkan solidaritas yang cukup terhadap negara yang menangani migran pertama,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron, seperti dikutip BBC, 18 September 2019.
Di saat seperti itu, Eropa menyaksikan bangkitnya partai-partai sayap kanan, misalnya Alternatif untuk Jerman (AfD), Gerakan Lima Bintang di Italia, Partai Kebebasan di Austria, dan Golden Dawn di Yunani yang konservatif dan rasis.
Paham xenofobia dan unilateralisme pun bergema dari AS sejak Donald Trump menjadi presiden. Pada 2016, Eropa menghadapi antitesis bersatunya Eropa ketika hasil referendum menyatakan bahwa Inggris ingin keluar dari UE.
Robohnya Tembok Berlin ternyata bukanlah akhir dari sejarah, seperti dikatakan Fukuyama. Tembok-tembok imajiner baru telah bermunculan dan respons dunia terhadapnya akan menjadi catatan dalam lembaran sejarah yang baru. (REUTERS/AP)