Lebanon Menuju Republik Ketiga
Sudah tiba waktunya elite politik yang berkuasa di Lebanon menerima kenyataan bahwa perubahan sistem politik di negara itu adalah sebuah keniscayaan saat ini.
Seorang analis politik Lebanon, Mustafa Fahs, dalam artikelnya di harian Asharq Al-Awsat, edisi 23 Oktober 2019, menyebut gelombang unjuk rasa rakyat Lebanon yang bergerak mulai 17 Oktober lalu mengantarkan negara itu menuju republik ketiga.
Rasanya tidak berlebihan jika Lebanon saat ini disebut sedang menggeliat menuju terbentuknya republik ketiga. Sudah tiba waktunya elite politik yang berkuasa di Lebanon menerima kenyataan bahwa perubahan sistem politik di negara itu adalah sebuah keniscayaan saat ini. Selama ini sistem politik Lebanon berpijak pada pola pembagian kekuasaan dengan berdasarkan latar belakang sektarian.
Perubahan di Lebanon disebut sebagai sebuah keniscayaan saat ini menyusul unjuk rasa di negara itu selama lebih dari tiga pekan terakhir. Unjuk rasa itu tidak hanya terbesar sejak kemerdekaan negara tersebut dari kolonial Perancis tahun 1943, tetapi juga untuk pertama kalinya bergulir lintas sekte dan agama, serta merata merambah semua wilayah berpenduduk mayoritas Muslim Sunni, Muslim Syiah, dan Kristen.
Sebelum ini, unjuk rasa di Lebanon selalu digalang kaukus sekte, kelompok atau partai politik tertentu dalam konteks pertarungan dengan lawan politik dari kelompok atau partai politik lainnya.
Baca juga: Negara Gagal Irak dan Lebanon
Tuntutan pengunjuk rasa pun berkembang sangat cepat. Dari semula sekadar menolak pajak 6 dollar AS setahun terhadap penggunaan media sosial Whatsapp, kemudian meningkat menuntut mundurnya pemerintah, dan puncaknya menuntut perombakan sistem politik di negara itu yang berpijak pada sistem politik sekterian.
Maka, Lebanon pasca-17 Oktober 2019 sudah tidak mungkin balik lagi ke era sebelum 17 Oktober 2019.
Saat ini harus dicari pola dan sekaligus tahapan proses mengubah sistem politik sektarian di Lebanon. Perubahan sistem politik di Lebanon akan sukses jika kepentingan semua pihak, khususnya elite penguasa, tetap terjaga. Tanpa menjaga kepentingan semua pihak di Lebanon, perubahan hanya akan membawa negara itu kembali ke jurang perang saudara.
Ada berita positif dari Lebanon beberapa hari terakhir ini. Para elite politik di negeri itu mulai menggelar konsultasi untuk membentuk pemerintahan teknokrat yang bebas dari kepentingan partai politik. Pembentukan pemerintah teknokrat merupakan salah satu tuntutan utama pengunjuk rasa dalam upaya membebaskan negara itu dari pemerintahan sektarian yang dinilai bertanggung jawab atas terpuruknya semua sektor, khususnya sektor ekonomi, di Lebanon.
Baca juga: Lebanon Berupaya Mengikis Sistem Politik Sektarian
Sesungguhnya keinginan pemerintah dan rakyat Lebanon mengakhiri sistem politik sektarian sudah dimulai dalam pemilu parlemen, 6 Mei 2018. Pemilu parlemen tersebut untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan dari kolonial Perancis tahun 1943 menerapkan sistem proporsional.
Dengan sistem proporsional itu, kekuatan-kekuatan politik lebih mengedepankan program daripada latar belakang agama atau sekte. Diizinkan pula caleg independen dari perwakilan masyarakat sipil dalam sistem proporsional itu. Seorang Muslim Sunni bisa menjadi caleg kubu politik Muslim Syiah dan juga sebaliknya.
Pemilu parlemen itu berjalan sukses dan damai sebagai langkah awal menuju era pascasistem sektarian. Jika pemerintah teknokrat berhasil dibentuk, hal itu menjadi langkah lanjutan dari pemilu parlemen Mei 2018 untuk membawa Lebanon secara bertahap menuju pasca-era sektarian.
Baca juga: Lebanon Menuju Era Non-sektarian
Keterpurukan
Semua pihak di Lebanon, khususnya elite yang berkuasa, harus bersedia mengakui bahwa sistem politik sektarian telah gagal membawa Lebanon ke arah negara modern yang mampu menciptakan kemakmuran dan kemajuan rakyatnya. Sistem politik sektarian hanya membawa negara Lebanon ke jurang keterpurukan yang semakin mendalam.
Sistem politik sektarian telah gagal membawa Lebanon ke arah negara modern yang mampu menciptakan kemakmuran dan kemajuan rakyatnya.
Data keterpurukan negara Lebanon saat ini tidak bisa dimungkiri oleh siapa pun. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela luar biasa di negara itu. Lebanon menempati urutan ke-138 dari 180 negara terkorup. Ditengarai korupsi telah menggerogoti 40 persen pendapatan negara sehingga negara tidak dapat memberi pelayanan semestinya kepada rakyat.
Baca juga: Korupsi dan Kesenjangan di Lebanon
Sektor listrik kini disebut mempunyai utang 35 miliar dollar AS atau lebih dari sepertiga utang negara Lebanon yang mencapai 86 miliar dollar AS. Angka pengangguran di Lebanon mencapai 25 persen, yang sebagian besar dari generasi milenial dengan rentang usia dari 23 tahun hingga 30 tahun. Pasar kerja di Lebanon hanya mampu menyerap 4.000 tenaga kerja setiap tahun, sedangkan lulusan perguruan tinggi setiap tahun mencapai 36.000 orang.
Utang nasional Lebanon sebesar 86 miliar dollar AS atau 150 persen dari produk domestik bruto (PDB) itu sudah melebihi kapasitas ekonomi Lebanon. Lebih ironis lagi, sistem politik sektarian di Lebanon mempermudah masuknya pengaruh dan intervensi negara asing ke negara itu.
Pertarungan regional
Perancis masih mengontrol Lebanon sejak era pasca-kemerdekaan tahun 1943 hingga 1970 (1943-1970). Lebanon kemudian berada di bawah pengaruh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari tahun 1970 sampai 1982 (1970-1982). Lebanon lalu bergulir di bawah kontrol Suriah dari tahun 1983 hingga 2005 (1983-2005). Dari tahun 2005 sampai sekarang, Lebanon di bawah pengaruh Iran dan Arab Saudi (2005-sekarang).
Iran mengontrol Lebanon melalui Hezbollah pimpinan Hassan Nasrullah, sedangkan Arab Saudi mengendalikan Lebanon lewat Partai Gerakan Masa Depan (Harakah al- Mustaqbal) pimpinan Saad al- Hariri.
Akibatnya, Lebanon selalu menjadi arena pertarungan kekuatan regional yang tak pernah berhenti sampai saat ini. Hal itu menyebabkan Pemerintah Lebanon tidak pernah bisa mengambil keputusan secara independen. Beirut selalu didikte kekuatan regional. Bahkan, ada pemeo, keputusan Pemerintah Lebanon bukan berada di Beirut, tetapi di Teheran dan Riyadh.
Baca juga: Rivalitas Klasik Arab Saudi dan Iran
Maka, tidak ada pilihan lagi bagi Lebanon kecuali segera bergerak menuju negara republik ketiga, yakni negeri Lebanon yang bebas dari sentimen sektarian. Mengapa disebut negara republik ketiga?
Seperti dimaklumi, lahirnya republik Lebanon pertama terjadi ketika meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis tahun 1943. Adapun lahirnya republik Lebanon kedua berlangsung saat tercapai kesepakatan Taif pada 1989 yang mengakhiri perang saudara Lebanon 1975-1990.
Lebanon mengadopsi sistem politik demokrasi, baik pada era republik pertama maupun republik kedua. Namun, demokrasi di negara itu berdasarkan sektarian dengan pola pembagian kekuasaan di antara sekte-sekte. Tiga kelompok besar mendapat jatah jabatan besar pula: kaum Muslim Sunni memperoleh posisi perdana menteri, warga Muslim Syiah meraih jabatan ketua parlemen, dan kaum Kristen Maronite mendapat jatah jabatan presiden.
Kini tiba saatnya Lebanon mulai berproses menuju berakhirnya sistem politik sektarian itu—meskipun jalannya tidak mudah—agar negeri Lebanon bermetamorfosis menjadi negara sipil modern yang lebih menciptakan keadilan dan kesetaraan terhadap semua warganya, apa pun latar belakang agama, ideologi, dan sektenya.