Aktivis HAM Desak Bangladesh Buka Akses Pendidikan
Human Rights Watch mendesak Pemerintah Bangladesh mencabut pembatasan akses sekolah bagi 400 ribu anak-anak yang tinggal di kamp- kamp pengungsi.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·3 menit baca
YANGON, SELASA—Akses pendidikan bagi sekitar 400.000 anak pengungsi Rohingya di kamp-kamp Cox’s Bazar, Bangladesh, sangat terbatas. Human Rights Watch pada Selasa (3/12/2019) mendesak Pemerintah Bangladesh mencabut pembatasan akses sekolah bagi anak-anak yang tinggal di kamp- kamp pengungsi.
Dalam laporan yang diberi judul ”Are we not human?”, Human Rights Watch menuduh Pemerintah Bangladesh telah melanggar hak 400.000 anak usia sekolah yang sedang mengungsi dari Myanmar dan saat ini tinggal di kamp-kamp pengungsi Cox’s Bazar.
Laporan Human Rights Watch mengatakan Pemerintah Bangladesh telah melarang anak-anak pengungsi Rohingya mendaftar di sekolah-sekolah di luar kamp atau mengikuti ujian nasional. Bangladesh juga melarang lembaga- lembaga Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan kelompok- kelompok bantuan asing memberikan pendidikan resmi terakreditasi pada anak-anak pengungsi Rohingya.
Selain itu, Human Rights Watch juga mengkritik Myanmar karena tidak menyetujui penggunaan kurikulum sekolah Myanmar di kamp-kamp pengungsi tersebut.
Pengungsi Rohingya harus kembali ke Myanmar.
Bill Van Esveld, Direktur Hak Asasi Anak-anak di Human Rights Watch, menyesalkan bahwa pembatasan akses pendidikan anak-anak di kamp pengungsi Bangladesh tidak menjadi perhatian siapa pun. Menurut Esveld, komunitas internasional perlu bergerak dan menuntut agar Bangladesh dan Myanmar mengubah kebijakan mereka terkait akses pendidikan anak-anak pengungsi.
Mahbub Alam Talukder, Ketua Komisi Pemulangan dan Bantuan untuk Pengungsi di Bangladesh, mengatakan bahwa tidak benar anak-anak di kamp pengungsi tidak mengikuti pendidikan. Dia mengatakan, saat ini ada 4.000 pusat pembelajaran di kamp-kamp tersebut.
”Pengungsi Rohingya harus kembali ke Myanmar. Mereka bukan warga negara kami dan kami tidak bisa membiarkan mereka menggunakan kurikulum nasional kami,” kata Talukder.
Lebih dari 730.000 warga etnis Rohingya telah mengungsi dari Myanmar ke negara tetangga Bangladesh sejak serangan militer Myanmar pada tahun 2017, menyusul serangan atas pos-pos aparat keamanan di perbatasan.
Ke Belanda
Terkait isu Rohingya, pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, bersiap hendak ke Belanda untuk menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional. Ratusan pendukungnya hari Minggu (1/12) berkumpul di pusat kota Yangon menggelar aksi dukungan bagi Suu Kyi untuk melawan tuduhan terhadap Myanmar tersebut.
Reputasi Suu Kyi yang pernah memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian terus merosot di mata internasional. Namun, di dalam negeri Suu Kyi tetap memperoleh dukungan yang luar biasa dari rakyat Myanmar.
”Aung San Suu Kyi adalah pemimpin yang paling berani di duni a,” kata Saw Phoe Kwar, penyanyi reggae Myanmar yang terkenal karena lagu hitnya, ”Saling Mencintai” dan ”Stop Benci”. Ia berbicara di hadapan ratusan pendukung Suu Kyi yang melambaikan bendera Myanmar.
Di dalam negeri Suu Kyi tetap memperoleh dukungan yang luar biasa dari rakyat Myanmar.
Penyelenggara aksi, Aung Thu, mengatakan bahwa rakyat Myanmar harus bersatu untuk mendukung Suu Kyi. Lebih dari 730.000 etnis Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh sejak serangan tahun 2017 oleh militer Myanmar.
Menurut penyelidik PBB, serangan itu dilakukan dengan ”niat genosida”. Namun, Pemerintah Myanmar membantah tudingan genosida itu dan mengatakan bahwa tentara Myanmar hanya memerangi pemberontak yang menyerang pos-pos keamanan.
Di seluruh Myanmar, Rohingya dicerca sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Tuduhan kekejaman terhadap etnis Rohingya secara luas disangkal sebagai berita palsu. Persoalan etnis Rohingya ini telah menyatukan pemerintah sipil dan militer Myanmar yang berkuasa selama setengah abad sebelum Suu Kyi memenangkan pemilu tahun 2015. (REUTERS/AP)