Eropa meminta laporan pelanggaran pengendalian senjata Iran kepada Dewan Keamanan PBB. Laporan itu bisa berujung sanksi baru internasional pada Iran.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
BRUSSELS, JUMAT—Sanksi ketat terhadap Iran dapat berujung pada musnahnya kesepakatan pengendalian senjata nuklir. Karena itu, kesepakatan nuklir Iran harus diselamatkan oleh para pihak yang tersisa.
Direktur Kajian Iran pada International Crisis Group Ali Vaez mengatakan, Iran mungkin mundur dari traktat pengendalian nuklir (nonproliferation treaty/NPT). Teheran akan melakukan itu jika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menjatuhkan sanksi pada Iran.
Peluang Iran keluar dari NPT bisa terjadi jika perjanjian nuklir 2015 atau dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) gagal. Dalam JCPOA, masyarakat internasional setuju mencabut sanksi untuk Iran. Sebagai imbalan, Iran setuju program nuklirnya diawasi.
Sayangnya, Amerika Serikat mundur dari JCPOA pada Mei 2018, lalu menerapkan serangkaian sanksi terhadap Iran. AS juga mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap pihak mana pun yang bertransaksi dengan Iran. Ancaman ini menyebabkan tak ada pihak yang berani menjalin hubungan dagang dengan Iran, termasuk sekutu AS di Eropa.
Teheran membalas hal itu dengan secara bertahap mengurangi komitmen pada JCPOA. Bahkan, Teheran mengancam mundur total dari JCPOA pada Januari 2020. Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan China berusaha membujuk lagi Iran lewat pertemuan di Vienna, Austria, Jumat (6/12/2019) siang waktu setempat atau Sabtu dini hari WIB.
Vaez pesimistis dengan pertemuan di Vienna. ”Pihak yang tersisa (di JCPOA) terbukti tidak bisa menyediakan sedikit pun ruang bagi Iran untuk bernapas,” ujarnya.
Isu rudal balistik
Peringatan Vaez juga disampaikan setelah Eropa dan Iran baku tuding soal nuklir Iran. Dalam surat kepada PBB, Eropa menuding Iran mengembangkan rudal balistik untuk meluncurkan nuklir. Pengembangan itu melanggar resolusi PBB terkait JCPOA. Eropa menyoroti rudal Shahab-3 dan Borkan-3 yang bisa menjangkau hingga 1.300 kilometer. Eropa juga menyoroti roket peluncur satelit buatan Iran yang diuji pada Agustus 2019.
Eropa meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres melaporkan masalah itu ke Dewan Keamanan PBB. Permintaan ini bisa berujung jatuhnya sanksi PBB terhadap Iran.
Wakil Tetap Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi meminta Guterres tidak membuat laporan itu. Ia menyatakan, roket peluncur satelit Iran tidak melanggar resolusi PBB. ”Tidak ada rudal Iran yang dirancang untuk bisa meluncurkan senjata nuklir,” ujarnya.
Ia menuding AS dan sejumlah negara terus mencari alasan untuk menjelekkan upaya negara lain mengembangkan teknologi penjelajahan antariksa.
”Ini bentuk kebohongan untuk menutupi ketidakmampuan mereka memenuhi aras minimum kewajiban sesuai JCPOA. Jika E3 (negara Eropa penanda tangan JCPOA) ingin mendapat kredibilitas global, mereka bisa memulai dengan menunjukkan kedaulatan daripada menyerah pada perundungan AS,” tulis Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif.
Eropa sudah berbulan-bulan menyatakan mencari cara menyiasati sanksi AS. Mereka membuat Instex, mekanisme barter minyak Iran dengan kebutuhan negara itu. Namun, tidak jelas, kapan Instex bisa diberlakukan. Eropa bolak-balik menyatakan mekanisme itu sedang dalam penyelesaian.
Para diplomat Eropa mengatakan, transaksi Instex hanya akan menjadi simbolis dibandingkan sebagai penyelamat JCPOA. Sebab, Iran minta pencabutan sanksi sepenuhnya.