Skandal Pesta Bunga Sakura, Ujian Kepiawaian PM Abe Mengelola Krisis
Dukungan publik Jepang terhadap Perdana Menteri Shinzo Abe merosot gara-gara skandal daftar tamu pada pesta yang digelar Abe. Diketahui, di antara tamu yang diundang dalam pesta itu berasal dari kalangan mafia.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
TOKYO, SELASA — Dukungan publik Jepang terhadap Perdana Menteri Shinzo Abe merosot. Hal ini gara-gara skandal daftar tamu pada pesta yang digelar Abe. Diketahui, di antara tamu yang diundang dalam pesta itu berasal dari kalangan mafia. Terungkap pula adanya upaya penghilangan bukti-bukti hal itu hingga tersebarnya dokumen terkait pesta akibat keteledoran staf Abe.
Pening tengah dirasakan Abe. Sebagai perdana menteri terlama di Jepang, kubu Abe hampir setiap hari dihantam oleh anggota parlemen dari kalangan oposisi sejak skandal itu muncul pada awal November. Kemarahan pun menyeruak di sejumlah kalangan. Skandal itu berpusar pada tradisi pesta bunga sakura, yang selalu dirayakan sejak tahun 1952.
Pesta bunga sakura digelar dengan dana rakyat untuk menghormati jasa dan prestasi orang-orang hebat dan berbudi baik. Pesta tahun ini menghabiskan dana rakyat sebesar 55 juta yen atau sekitar 504.000 dollar AS (Rp 7 miliar).
Pertemuan pesta itu awalnya tampak berlangsung secara normal. Namun, belakangan menjadi polemik setelah Abe diketahui mengundang 850 pendukung dari daerah pemilihannya. Polemik memanas setelah salah satu tamu yang hadir diketahui adalah salah satu mafia yakuza.
Kubu oposisi pun menuntut agar daftar tamu undangan itu dibuka kepada publik. Namun, jawaban Abe atas tuntutan itu justru memantik kemarahan lebih lanjut. Diungkapkan bahwa dokumen-dokumen terkait daftar tamu undangan dalam pesta itu rusak karena ulah pegawai kantornya.
Ironisnya, pegawai kantor yang dikatakan menyebabkan rusaknya dokumen-dokumen daftar tamu undangan itu adalah para difabel pekerja paruh waktu. Banyak kalangan menuding Abe mengambinghitamkan para pekerja itu.
Akibat skandal tersebut, dukungan publik terhadap pemerintahan Abe pun merosot enam hingga tujuh poin menjadi sekitar 50 persen. Merosotnya angka dukungan itu masih bisa lebih rendah lagi.
Akibat skandal pesta bunga sakura, dukungan publik terhadap pemerintahan Abe pun merosot enam hingga tujuh poin menjadi sekitar 50 persen.
Jajak pendapat kantor berita Reuters yang dirilis pada 6 Desember lalu memperlihatkan, mayoritas perusahaan-perusahaan Jepang menginginkan Abe menyelesaikan masa jabatannya pada September 2021. Hanya kurang dari seperlima yang menyatakan Abe seharusnya menjabat lagi setelahnya.
Sebanyak 59 persen responden mengungkapkan, Abe harus menyelesaikan masa jabatannya sebagai pemimpin Partai Demokratik Liberal (LDP), tetapi setelah itu harus mundur. Adapun 16 persen responden lainnya ingin dia menjabat lebih lama. Hal ini tentu menuntut perubahan aturan mengingat ketua LDP pada hakikatnya dipastikan menjabat perdana menteri jika partainya berkuasa. Sementara 25 persen responden menyatakan Abe harus segera mundur.
Para ahli mengatakan, Abe bisa saja menghadapi tekanan lebih buruk. ”Para pemilih tidak yakin dengan penjelasan pemerintah Abe tentang skandal itu,” ucap Junichi Saito, profesor politik di Universitas Waseda, Tokyo.
”Namun, jajak pendapat kemungkinan tidak akan turun lebih dari 10 poin persentase karena tidak ada kandidat lain untuk seorang perdana menteri.”
Skeptis pada oposisi
Abe mendapat manfaat dari kekecewaan panjang terhadap pihak oposisi. Warga tetap merasa sangsi terhadap mereka setelah mengalami kinerja buruk dari pemerintahan Partai Demokrat yang berhaluan kiri pada tahun 2009-2012.
”Saya skeptis pada titik ini bahwa pihak oposisi akan meraup dukungan publik jika berhasil menekan Abe dengan skandal ini,” ujar Tobias Harris, wakil presiden senior perusahaan konsultan Teneo.
”Skenario terburuk bagi Abe adalah bahwa pendukung LDP (yang berkuasa saat ini) meninggalkannya, yang belum terjadi sejauh ini, menjadikan dukungan terhadap partainya tinggal 30 persen (dukungan),” lanjutnya.
Tuduhan miring terhadap Abe terus bermunculan. Tuduhan itu termasuk klaim bahwa Abe mengundang para pendukungnya untuk makan malam di sebuah hotel mewah. Dia pun dituduh membiarkan kelompok pendukung politiknya melanggar undang-undang pemilihan. Pemerintahnya menyangkal hal itu dan investigasi kriminal dipandang sangat tidak mungkin dilakukan.
Menurut Saito, tuduhan itu berisiko merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik Jepang. ”Pemerintahan ini berusaha menghindari kritik” dengan menahan dokumen dan itu ”melukai sistem (pertanggungjawaban) yang diperlukan untuk demokrasi”.
Pesta bunga sakura tahun depan telah dibatalkan. Abe pun berjanji untuk mengevaluasi pertemuan yang jadi polemik kali ini. Hal itu dinilai sudah cukup untuk membuatnya tenang, kata Junichi Takase, profesor politik di Nagoya University of Foreign Studies.
”Blok oposisi tak punya peluru lagi kecuali menyerang Abe dengan jenis skandal seperti ini,” ujar Takase. ”Abe bagus dalam menangani krisis. Ia mengakui ada yang salah, meminta maaf, dan ingin maju terus—cara ini lebih baik dari berbohong.” (AFP/REUTERS)