Sejumlah unsur digunakan Beijing untuk menancapkan kekuatan lunaknya di Asia Selatan dan Tengah melalui proyek investasi infrastruktur, operasi media, program sister city, diplomasi militer, pendidikan, dan kebudayaan.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
VIRGINIA, SELASA — China telah menghabiskan miliaran dollar AS untuk menunjukkan kekuatan lunaknya di Asia. Namun, penelitian lembaga AidData di Amerika Serikat menunjukkan, Beijing belum mampu merebut hati maupun pikiran kebanyakan warga di Asia.
Menurut studi yang digelar AidData di College of William & Mary di Virginia, AS, Pemerintahan Presiden China Xi Jinping menggandakan anggaran urusan luar negeri China dalam enam tahun dari 30 miliar menjadi 60 miliar yuan (8,5 miliar dollar AS). Hal itu untuk meningkatkan diplomasi globalnya.
Studi tersebut meneliti aneka kegiatan China di 25 negara di Asia dan Pasifik. Hasil studi itu dirilis pada Senin (9/12/2019). Tidak disebutkan waktu studi dilakukan, namun periode langkah China yang diteliti berkisar sejak tahun 2000. Studi itu diselenggarakan bersama Institut Kebijakan Masyarakat Asia dan Proyek Kekuatan China di CSIS.
”Diplomasi publik adalah unsur penting dalam perangkat Beijing untuk menetralisir potensi ancaman, mengatasi kerugian internal, dan mengalahkan pesaing regional,” kata laporan itu.
Dijelaskan, sejumlah unsur yang digunakan Beijing untuk menancapkan kekuatan lunaknya di Asia Selatan dan Tengah, antara lain melalui proyek investasi infrastruktur besar, operasi media yang didukung negara, program sister city, diplomasi militer, dan melalui jalur pendidikan serta kebudayaan. Melalui jalur pendidikan dan kebudayaan, orang-orang diajari bahasa dan diberi pengetahuan tentang budaya China.
Laporan itu menemukan bahwa 95 persen diplomasi keuangan China masuk ke infrastruktur dan hanya 5 persen ke bidang lain, seperti bantuan kemanusiaan atau penghapusan utang. Ada dua negara yang diketahui menyerap setengah dari total nilai investasi Beijing di Asia Tengah dan Selatan, yakni Pakistan dan Kazakhstan, melalui megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative atau BRI).
Kekuatan lunak (soft power), seperti dipaparkan dalam Kamus Hubungan Internasional karangan Khasan Ashari (2015), merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Joseph Nye. Hal itu merujuk pada kemampuan sebuah negara mengooptasi aktor lain tanpa menggunakan ancaman militer atau menawarkan imbalan dalam bentuk-bentuk insentif ekonomi.
Istilah tersebut digunakan untuk membedakan tipe kekuatan dengan kemampuan memengaruhi aktor lain dengan menggunakan kekuatan militer dan ekonomi yang lazim disebut sebagai kekuatan keras (hard power).
Operasi media
Beijing juga telah meningkatkan acara budaya, menggelar program beasiswa, dan pertukaran pelajar. Hampir setiap negara di Asia Selatan dan Tengah sekarang memiliki setidaknya satu bentuk media milik Pemerintah China, termasuk televisi, radio, dan media cetak. China pun telah menyelenggarakan 61 perjalanan atau kunjungan wartawan Asia Selatan dan Tengah antara 2004 dan 2017.
Laporan itu mengatakan, Beijing bertujuan memperluas operasi pemberitaan tentang China dan memupuk hubungan dengan wartawan, sekaligus mempromosikan liputan-liputan yang lebih pro-China dan ”menekan kritik negatif” atas negara itu. Namun, menurut laporan itu, tidak ada alat diplomasi publik yang mengarah ke penyelarasan suara yang lebih dekat dengan Beijing di PBB.
Laporan itu mengatakan, Beijing bertujuan memperluas operasi pemberitaan tentang China dan memupuk hubungan dengan wartawan, sekaligus mempromosikan liputan-liputan yang lebih pro-China dan ”menekan kritik negatif” atas negara itu.
Di seluruh Asia Selatan, terobosan dengan warga negara biasa oleh Beijing dinilai dangkal. Sebagian besar upaya itu dibentuk oleh prospek ekonomi potensial semata. Di negara seperti Kazakhstan masih terdapat sinofobia atau anti-China yang kuat di kalangan elitenya.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa para pemimpin politik telah menoleransi organisasi Uighur di Kazakhstan. Hal itu masih ada sekalipun pihak-pihak di negeri itu telah menandatangani perjanjian dengan Beijing untuk membantunya menahan gerakan separatis.
Sebagaimana diwartakan, diperkirakan lebih dari satu juta warga Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya, termasuk etnis Kazakh, diyakini ditahan di kamp-kamp pendidikan ulang di wilayah Xinjiang, China barat laut.
Kazakhstan adalah rumah bagi 75 persen warga Uighur yang tinggal di wilayah itu. Para aktivis setempat telah mendorong mantan tahanan dan warga yang memiliki kerabat di Xinjiang untuk berbicara.
”Jika Beijing ingin mempertahankan stabilitas di dalam negeri, kemungkinan (China) akan memerlukan tidak hanya meyakinkan elite politik, tetapi publik Kazakh, yang mungkin cenderung untuk mendukung kepentingan saudara-saudara Uighur mereka di Xinjiang,” kata laporan itu. (AFP)