Hanya 2 persen suara warga Bougainville—sebuah provinsi di Papua Niugini - memilih untuk tetap menjadi bagian Papua Niugini dengan otonomi yang diperluas. Mayoritas ingin merdeka.
Oleh
ELOK DYAH MESWATI
·3 menit baca
CANBERRA, RABU—Hasil pemungutan suara atau referendum di Bougainville—sebuah provinsi di Papua Niugini—pada Rabu (11/12/2019) menunjukkan bahwa 98 persen surat suara sah mendukung kemerdekaan Bougainville. Sebanyak 2 persen suara memilih untuk tetap menjadi bagian Papua Niugini dengan otonomi yang diperluas.
Ketua Komisi Referendum Bougainville Bertie Ahern mengatakan, 176.928 warga Bougainville atau sekitar 98 persen pemilih telah mendukung kemerdekaan dan hanya 3.043 pemilih mendukung Bougainville tetap menjadi bagian dari Papua Niugini dengan otonomi yang lebih besar.
Proses untuk sampai merdeka dan jadi bangsa yang terpisah dari Papua Niugini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Referendum itu diikuti sekitar 85 persen pemilih. Pemungutan suara digelar selama dua minggu, sejak 23 November hingga berakhir 7 Desember 2019.
Terkait hasil referendum, belum ada komentar dari Pemerintah Papua Niugini. Kantor Perdana Menteri Papua Niugini James Marape mengatakan bahwa Marape sedang berada di luar kota dan belum berkomentar mengenai hasil referendum Bouganville tersebut.
Meski demikian, referendum itu tak mengikat. Kemerdekaan Bouganville masih perlu dinegosiasikan antara pemimpin Bougainville dan Papua Niugini. Pidato terakhir akan disampaikan kepada anggota parlemen di parlemen Papua Niugini. Proses untuk sampai merdeka dan jadi bangsa yang terpisah dari Papua Niugini bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Tantangan
Puka Temu, Menteri untuk urusan Bougainville, mengatakan bahwa hasil referendum ini kredibel. Namun, dia meminta pemilih memberikan waktu yang cukup bagi Papua Niugini untuk menyerap hasil referendum tersebut.
The Guardian melaporkan bahwa dua bulan sebelum referendum bersejarah Bougainville tersebut, para pengamat telah memperingatkan ”tantangan keamanan utama” dan ketidakstabilan regional jika Papua Niugini menolak untuk mengakui suara yang memilih kemerdekaan.
Referendum adalah bagian penting dari perjanjian perdamaian 2001 yang mengakhiri perang saudara di Bougainville.
Dalam sebuah makalah penelitian Lowy Institute yang berbasis di Australia disebutkan, Canberra didesak untuk mempersiapkan diri setelah referendum. Ini adalah puncak dari proses perdamaian 20 tahun yang mengakhiri konflik di Pasifik yang paling intens sejak Perang Dunia II.
Dalam kajian itu, Lowy Institute mengatakan, warga Bougainville tidak siap untuk kemerdekaan dan sebagian besar warga Bougainville tidak melihat alternatif lain sehingga harus fokus pada bagaimana transisi tersebut akan terjadi dan bagaimana menghindari krisis keamanan serius lainnya.
Referendum adalah bagian penting dari perjanjian perdamaian 2001 yang mengakhiri perang saudara di Bougainville di mana setidaknya 20.000 orang tewas akibat perang saudara. Perang di Bougainville pada 1988-1998 dipicu oleh konflik atas pendapatan dari tambang tembaga terbesar di Panguna, Bougainville, yang sekarang ditutup. Tambang ini merupakan penghasil ekspor terbesar, yakni 40 persen ekspor Papua Niugini.
Namun, banyak warga Bougainville merasa mereka tidak mendapat manfaat dari tambang tembaga itu. Mereka hanya merasakan dampak polusi tambang dan merasa eksplorasi tambang mengganggu cara hidup tradisional mereka. Tambang ini diperkirakan masih memiliki lebih dari 5 juta ton tembaga dan 19 juta ons emas senilai miliaran dollar AS.