Keterbelahan publik Aljazair antara pro dan kontra pemilu itu terjadi lantaran lima kandidat presiden dinilai masih loyalis rezim mantan Presiden Abdelaziz Bouteflika, yang ditumbangkan rakyat negeri itu, 2 April lalu.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS— Aljazair, Kamis (12/12/2019), menggelar pemilu presiden atau pilpres, momen pertaruhan masa depan demokrasi di negara berpenduduk sekitar 42 juta jiwa di Afrika Utara itu. Ini pilpres demokratis pertama sejak Aljazair meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis, 1962.
Hasil pemilu itu dijadwalkan diumumkan Jumat ini. Penyelenggaraan pilpres ini disambut pro-kontra di kalangan rakyat Aljazair. Meski begitu, publik negeri itu sangat berharap pilpres ini bisa membawa Aljazair menjadi negara demokrasi kedua di dunia Arab setelah Tunisia.
Tunisia sampai saat ini merupakan satu-satunya negara Arab yang dilanda gerakan Musim Semi Arab serta berhasil membangun sistem dan kultur demokrasi. Aljazair dilanda Musim Semi Arab gelombang kedua yang menumbangkan Presiden Abdelaziz Bouteflika, 2 April lalu.
Terkait pemilu ini, publik dan kekuatan-kekuatan politik di Aljazair terpecah antara kelompok yang ingin berpartisipasi dan kelompok yang memboikot pemilu. ”Tak ada pemilu! Kami ingin kebebasan,” teriak massa berjumlah ribuan dalam unjuk rasa di ibu kota Algiers, kemarin.
Di sejumlah tempat pemungutan suara di beberapa provinsi, dilaporkan massa menyerbu kotak-kotak suara dan merusaknya. Insiden itu, antara lain, terjadi di wilayah Pegunungan Kabylie.
Keterbelahan publik Aljazair antara pro dan kontra pemilu itu terjadi lantaran lima kandidat presiden yang bersaing dinilai masih loyalis rezim Bouteflika. Kelima kandidat itu adalah mantan PM Abdelmadjid Tebboune, mantan PM Ali Benflis, mantan Menteri Kebudayaan Azzedddine Mihoubi, mantan Menteri Pariwisata Abdelkader Bengrine, dan Ketua Partai Gerakan Mostaqbal (Masa Depan) Abdelaziz Belaid.
Rakyat Aljazair yang turun ke jalan sejak Oktober 2018 dan berlanjut sampai saat ini menuntut tak hanya tumbangnya Bouteflika, tetapi juga para loyalisnya.
Padahal, rakyat Aljazair yang turun ke jalan sejak Oktober 2018 dan berlanjut sampai saat ini menuntut tak hanya tumbangnya Bouteflika, tetapi juga para loyalisnya. Rakyat Aljazair juga menuntut mundurnya militer dari panggung politik. Aljazair terus dikontrol militer sejak kudeta militer pimpinan Menteri Pertahanan Houari Boumediene atas pemerintah sipil Presiden Ben Bella tahun 1965.
Publik dan kekuatan politik Aljazair yang memboikot pemilu memandang penyelenggaraan pilpres hanya untuk mengembalikan loyalis Bouteflika ke tampuk kekuasaan. Kelima kandidat presiden itu adalah para mantan perdana menteri dan menteri di era kekuasaan Bouteflika.
Kubu kontra pilpres berdalih, tampilnya kembali loyalis Bouteflika di bursa kandidat presiden karena masih bercokolnya para loyalis itu di masa transisi saat ini. Mereka mendapat bantuan dan dukungan militer.
Seperti diketahui, pasca- lengsernya Bouteflika pada 2 April lalu, pertarungan di Aljazair beralih menjadi antara massa pengunjuk rasa dan militer terkait masa transisi. Pengunjuk rasa menghendaki, pada masa transisi segera dibentuk dewan presidensial beranggota tokoh-tokoh independen yang sama sekali tidak ada kaitan dengan Bouteflika.
Namun, militer menolak aspirasi itu. Militer mengotot, proses masa transisi harus melalui koridor konstitusi nomor 102 dan menolak keras proses perubahan di Aljazair melalui revolusi.
Proses masa transisi sesuai konstitusi nomor 102 berjalan di Aljazair saat ini, sesuai aspirasi militer. Konstitusi nomor 102 menegaskan, jika presiden mengundurkan diri atau meninggal atau tak mampu menjalankan tugas, dewan konstitusi memutuskan kosongnya jabatan presiden. Dewan konstitusi lalu menyampaikan kepada Majelis Ummah (parlemen) tentang keputusan itu.
Parlemen lalu mengesahkan keputusan dewan konstitusi itu dan ketua parlemen menjabat presiden sementara selama 90 hari. Dalam kurun waktu 90 hari itu, digelar pilpres dan ketua parlemen dilarang ikut mencalonkan diri dalam pilpres tersebut.