Organisasi Perdagangan Dunia Sedang Lumpuh
Penolakan AS atas penunjukan dua hakim banding baru di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) praktis membuat organisasi itu lumpuh. Hukum rimba pun kini berlaku untuk perdagangan dunia.
Secara teknis, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) lumpuh sejak 11 Desember 2019. Kelumpuhan ini bahkan sudah diperkirakan sejak 2017.
Penyebabnya, AS tidak setuju pengangkatan dua hakim baru yang bertugas mengatasi sengketa dagang. Dengan demikian, untuk sementara WTO tidak bisa menangani sengketa perdagangan barang internasional dengan omzet 19,48 triliun dollar AS.
”WTO sedang dalam krisis,” kata Cecilia Malmstrom, yang pada November 2019 mengakhiri jabatannya sebagai Ketua Komisi Perdagangan Uni Eropa. ”Jika tidak ada tindakan, WTO akan menjadi badan yang tidak relevan.”
Mantan hakim banding di WTO, Peter van den Bossche, kini dosen di University of Bern, Swiss, mengatakan, sekarang hukum yang berlaku dalam perdagangan internasional adalah hukum rimba. ”Hukum dari pihak yang paling kuat... dan ini akan merugikan kita semua.”
Minimal 3 hakim
Dari minimal tiga hakim banding yang harus dimiliki WTO pada organnya bernama Pengadilan Banding (Appellate Body), sejak 11 Desember 2019 hanya tersisa satu hakim. Hakim Ujal Singh Bhatia dari India dan Hakim Thomas Graham dari AS mengakhiri masa jabatan (empat tahun) sejak 11 Desember. Kini hanya ada Hakim Hong Zhao dari China, yang juga akan mengakhiri masa jabatan pada 30 November 2020. Kasus aduan ke WTO tidak boleh ditangani oleh satu hakim.
Sengketa dagang ditangani Appellate Body, yang merupakan organ penting WTO. Para hakimnya secara formil diangkat badan di WTO bernama Dispute Settlement Body (DSB). Badan ini beranggotakan semua anggota WTO sebanyak 164 negara. Pengangkatan hakim didasarkan pada konsensus.
Konsensus sebenarnya hanya teori. Secara historis dalam kenyataannya, WTO dikuasai negara-negara kuat, termasuk dan terutama AS. Bisa dikatakan negara-negara lemah dan miskin tidak punya efek kuat sejak WTO berdiri pada 1995.
Baca juga : Vietnam dan Thailand Jadi Pilihan, Indonesia Tak Dilirik
Negara-negara kuat, seperti AS, Uni Eropa, dan dalam beberapa tahun terakhir China, merupakan kelompok yang paling menentukan di WTO pada umumnya. Jika kekuatan besar ini kompak, WTO beres.
Masalahnya, tiga kekuatan ini sedang tidak kompak. AS sedang ngambek dan tidak setuju penunjukan hakim baru atau perpanjangan tugas hakim lama, yang bisa menjabat dua periode.
Akar permasalahan
Permasalahan muncul semenjak China menguat secara ekonomi dan cakarnya makin kuat di WTO. Permasalahan ekstra muncul ketika UE berbeda haluan dengan AS soal WTO. UE dan China menginginkan WTO yang kuat, terlepas dari pengaruh negara kuat, yakni AS.
Persoalan asli dan paling akut sebenarnya adalah sistem hukum AS yang tidak boleh menempatkan hukum internasional di atas hukum nasionalnya. Hukum internasional tidak boleh menganulir hukum nasional AS. Hukum internasional harus tunduk pada hukum domestik AS.
Semenjak Donald Trump memimpin AS dengan slogan ”America First”, perlahan WTO pun melemah dan sengaja dibuat lemah. AS bahkan ingin meninggalkan WTO.
Hal ini semakin mengkristal sejak Trump menunjuk Robert Lighthizer sebagai Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR). Lighthizer, yang pernah ditolak oleh DSB menjadi salah satu hakim banding di WTO, kini memimpin AS melemahkan WTO.
Pengutamaan kepentingan AS dalam perdagangan internasional makin kental di bawah Lighthizer, atas perintah Trump. Tentu pengaruh dari penasihat dagang Trump, Peter Navarro, sangat kuat dalam proses ini.
Muncullah, misalnya, pengenaan tarif secara sepihak oleh AS terhadap mitra dagang dengan mengabaikan kaidah-kaidah WTO. Menyesuaikan langkahnya agar tidak bertentangan dengan WTO, AS berniat melemahkan WTO.
Trump dan para penasihatnya tidak menaruh respek kepada WTO karena dianggap melanggar kedaulatan. Sejumlah alasan lain juga dikemukakan AS tentang niat meninggalkan WTO. ”Kami akan meninggalkan WTO jika perlu. Kami tahu, sudah sekian lama WTO mengabaikan kedaulatan kami dan ini tidak boleh berlanjut,” kata Trump.
AS berulah sejak Bush
Sebenarnya pemikiran untuk mengabaikan WTO sudah berlangsung sejak era Presiden George W Bush (2000-2008). Ini bermula dari pemudaran kekuatan ekonomi AS dan khususnya pada sektor industri seperti baja. Dalam persaingan internasional, produk-produk AS tidak bisa bersaing kuat seperti dulu kala sehingga payung hukum internasional tidak lagi mengena.
Saat bersamaan persaingan mencuat dari para pesaing AS di pasar internasional. Melemahkan sistem banding pun merupakan opsi AS sejak Bush. Hal ini berlanjut sebenarnya di era Presiden Barack Obama (2008-20016). Bush dan Obama mementalkan penunjukan hakim-hakim banding WTO, yang seharusnya berjumlah tujuh orang.
Untungnya, aturan di WTO memperbolehkan minimal tiga hakim. Namun, sejak 2017, AS di bawah Trump juga tidak bersedia mengangkat kembali para hakim yang akan menjadi anggota Appellate Body. Ini menyebabkan tujuh hakim berkurang dari tahun ke tahun dan sampai 10 Desember 2019, tinggal tiga hakim yang ada.
Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer mengatakan tidak akan mendukung pengangkatan para hakim banding jika WTO dan seluruh organnya tidak melakukan reformasi. ”WTO memiliki kelemahan,” demikian Lighthizer di hadapan Kongres AS pada Maret 2019.
Aspek hukum WTO memang sangat lemah bagi AS, yang sejak lama ingin menang sendiri dalam hukum internasional. ”Anda tidak bisa menerima begitu saja argumen itu,” kata Steve Charnovitz, seorang profesor hukum internasional dari George Washington University Law School.
”Menyalahkan sistem banding di WTO merupakan sikap tidak yang tidak adil,” kata Charnovitz. ”Sudah lama kita menginginkan perekonomian dunia agar diatur berdasarkan hukum internasional. Kita sebenarnya telah meraih itu. Kini, kita malah ingin melucutinya,” kata Charnovitz.
Reaksi Eropa dan China
China pun menuduh AS secara sengaja berniat melemahkan WTO dan melengkapi langkahnya dengan sikap unilateralisme dan proteksionisme. AS sendirian soal WTO ini. UE pun menolak konstan sikap AS yang ingin menganulir WTO.
Ketua Komisi Perdagangan UE Phil Hogan mengatakan, pelemahan WTO sangat disesalkan dan merupakan pukulan besar bagi rezim perdagangan internasional. Meski WTO barangkali memiliki kelemahan, Hogan menegaskan, WTO tetap merupakan kebutuhan mendasar yang tidak bisa diabaikan dan amat perlu untuk menjamin perdagangan internasional yang terbuka dan adil.
Menyuarakan kepentingan bersama WTO, Duta Besar Selandia Baru untuk WTO David Walker, yang memimpin DSB, juga mencoba memelihara multilateralisme lewat WTO. Inilah hal yang membuat AS semakin tidak menyukai WTO karena selama ini selalu berhasil mendikte WTO.
Sikap AS aneh dan kalimatnya berkelit. Dubes AS untuk WTO Dennis Shea berkata, ”Sulit mencari solusi atas persoalan yang kita sama-sama tidak setuju sedang terjadi.” Hal itu dia katakan pada pertemuan WTO, Oktober 2019.
Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo sedang bingung. Dia hanya bisa mengatakan, butuh berbulan-bulan untuk mengatasi kemelut di tubuh WTO. Praktis perdagangan internasional kini sedang tidak memiliki badan pengatur. Hukum rimba dengan demikian menjadi hukum yang secara praktis sedang berlaku dengan sendirinya.
Alternatif untuk kemelut ini adalah negara-negara anggota WTO tanpa AS membentuk skema tersendiri agar WTO dengan kelengkapan sistemnya tetap berlaku. Hal ini sedang dijajaki UE, Kanada, China, dan seluruh anggota WTO. Aturan di WTO memungkinkan hal ini.
Hanya saja, tanpa keikutsertaan AS, gengsi dalam rezim internasional, termasuk di WTO, pasti tidak sekuat seperti saat AS ada di dalamnya. Inilah dialektika yang sedang terjadi dalam perdagangan internasional dengan peta kekuatan ekonomi global yang sedang berubah.
Akan tetapi, dengan munculnya kekuatan ekonomi di luar AS, bisa dipastikan perdagangan internasional tetap eksis. Ini didukung sikap kuat non-AS soal pentingnya WTO. (AP/AFP/REUTERS)