Indonesia sebaiknya menggunakan pendekatan persuasif terhadap Beijing terkait isu Uighur di Xinjiang, China. Indonesia bisa bekerja sama dengan Beijing menggiatkan pembangunan ekonomi dan peningkatan SDM di Xinjiang.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah Indonesia secara hati-hati menyikapi isu dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa warga Uighur di wilayah otonomi Xinjiang, China. Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, ketika dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (17/12/2019), mengatakan, Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah pendekatan dalam menyikapi isu Uighur.
Salah satunya, kata Faizasyah, dengan menyampaikan pandangan terkait isu Muslim Uighur langsung kepada Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian beberapa waktu lalu. ”Banyak cara untuk menyampaikan kepedulian terhadap satu isu, tidak selalu harus dengan berteriak atau megaphone diplomacy,” ujarnya.
”Dari informasi yang saya terima, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi kembali mengangkat masalah ini ketika bertemu Menlu China Wang Yi di Madrid,” kata Faizasyah.
Seperti dilansir Kemenlu, Retno mengadakan pertemuan dengan Wang di sela-sela Pertemuan Menlu Asia-Eropa (ASEM FMM) Ke-14 di Madrid, Spanyol, Senin (16/12), untuk membahas hubungan kedua negara. Dalam pertemuan itu, di akhir pertemuan, Retno meminta informasi mengenai perkembangan situasi di Xinjiang. Mengenai hal itu, seperti disebutkan dalam rilis Kemenlu, Wang kembali menyatakan kebebasan beragama umat Islam di Xinjiang dijamin negara.
Senin lalu, Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan, antara lain, berisi desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk lebih tegas menyikapi pelanggaran HAM di Xinjiang. Pemerintah Indonesia diminta menggalang dukungan melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan dalam kapasitas sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia juga baru terpilih sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2020-2022.
Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menyampaikan, tidak efektif jika dunia internasional berupaya meningkatkan tekanan lewat lembaga internasional kepada China. Justru, Beijing sebaiknya diajak bekerja sama agar masalah di Xinjiang diselesaikan berdasarkan prinsip keamanan dan kemanusiaan.
”Indonesia juga sebaiknya menggunakan pendekatan persuasif terhadap Beijing. Indonesia bisa bekerja sama dengan menggiatkan pembangunan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Seperti di tempat lainnya, akar masalah di Xinjiang adalah pembangunan ekonomi yang belum merata,” tutur Aleksius secara terpisah.
Menurut Aleksius, salah satu kerja sama itu adalah Indonesia dan China bisa berkolaborasi dalam pembangunan daerah-daerah otonomi khusus. Pendekatan tersebut bersifat persuasif yang terbukti lebih efektif. Indonesia juga menerapkan hal itu dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia oleh militer di Myanmar. Berkat pendekatan tersebut, Myanmar pun memelajari reformasi militer Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, China menuai kecaman terkait kebijakannya mendirikan kamp-kamp detensi bagi warga Uighur. Beijing menyatakan, mereka mendirikan pusat-pusat pelatihan dan pendidikan vokasi di Xinjiang guna mengatasi ekstremisme dan memberi warga keterampilan. PBB menyebutkan, setidaknya 1 juta warga etnis Uighur dan lainnya ditahan di kamp-kamp itu.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia Muhyiddin Djunaidi mengatakan, isu Uighur merupakan masalah kompleks. Meski ada potensi tentang persekusi kepada warga Muslim Uighur, negara-negara Islam sulit untuk mengkritik langsung karena mereka mitra China.
Bagi Indonesia, mengutip data Kementerian Luar Negeri, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan total nilai perdagangan kedua negara pada tahun 2018 mencapai 72,6 miliar dollar AS. China juga investor asing ketiga terbesar dengan total nilai investasi tahun 2018 mencapai 2,3 miliar dollar AS.
Muhyiddin menambahkan, ormas Islam di Indonesia berharap OKI bisa membentuk tim khusus pencari fakta untuk memelajari masalah dan menemukan solusi bagi Xinjiang.
“Pemerintah China diharapkan berhenti bersikap defensif dan memberi akses yang lebih luas agar kami dapat mengamati perkembangan di sana secara obyektif. Kami pun siap menerima mahasiswa Muslim dari China yang ingin belajar di Indonesia agar memeroleh gambaran Islam yang lebih luas,” ujarnya.