Pemilu Inggris Raya yang berlangsung pekan lalu bukan hanya terkait apakah Brexit berlanjut atau tidak. Pesta demokrasi itu juga menjadi sarana perlawanan kelompok-kelompok separatis di Inggris Raya.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
Dalam daftar peserta pemilu, ada Sinn Fein dan Partai Nasional Skotlandia (SNP). Secara terbuka, SNP mengampanyekan pemisahan Skotlandia dari Inggris Raya. Adapun Sinn Fein sejak dulu ingin Republik Irlandia Utara merdeka dari Inggris Raya. Perlu diingat, Inggris Raya—bernama resmi Persatuan Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara (United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland)— terdiri dari Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara.
Setelah partainya memenangi 48 kursi di Majelis Rendah atau DPR Inggris Raya, Ketua Umum SNP Nicola Sturgeon secara terbuka mengungkit lagi keinginan referendum untuk menuntut kemerdekaan Skotlandia. Ia menyebut, perolehan kursi SNP di DPR hasil Pemilu 2019 menunjukkan adanya mandat bagi partainya untuk menggulirkan kembali aspirasi referendum itu.
London berulang kali menegaskan tidak ada referendum bagi pemisahan Skotlandia. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pun bolak-balik menyatakan hal itu. Sturgeon menegaskan, Inggris dan Johnson tak dapat menahan Skotlandia tetap dalam naungan Inggris Raya jika kemerdekaan sudah menjadi misi Skotlandia.
Dalam hal ini, Brexit dinilai kelompok nasionalis Skotlandia sebagai tiket untuk meminta pemisahan diri. Saat referendum Brexit tahun 2016, semua wilayah di Skotlandia memilih opsi untuk tetap bertahan di Uni Eropa (UE). Hal ini bertolak belakang dengan keseluruhan Inggris Raya yang memilih keluar dari UE. Dampak Brexit akan dialami warga Skotlandia yang menolak Brexit.
Jalan berbeda
Meski sama-sama mengampanyekan separatisme, Sinn Fein dan SNP menempuh jalan berbeda. SNP tetap menduduki kursi yang diperolehnya di Majelis Rendah. Adapun Sinn Fein sejak ikut Pemilu 1917 tidak pernah menduduki kursi yang dimenanginya di Majelis Rendah Inggris Raya. Alasan utamanya adalah setiap anggota DPR wajib menyatakan kesetiaan pada raja atau ratu Inggris kala dilantik. Mereka juga wajib menyatakan kesetiaan kepada Kerajaan Inggris Raya.
Sebagai partai dengan manifesto mendirikan Republik Irlandia Utara, Sinn Fein tidak bisa mengucapkan sumpah pelantikan seperti itu. Pembentukan Republik Irlandia Utara sama saja memisahkan diri dari Kerajaan Inggris Raya. Tanpa mengucapkan sumpah pelantikan, anggota legislatif terpilih dari Sinn Fein tidak dapat dilantik dan—dengan sendirinya—tidak bisa menjadi anggota parlemen.
Sinn Fein sejak ikut Pemilu 1917 tidak pernah menduduki kursi yang dimenanginya di Majelis Rendah Inggris Raya.
Selain itu, dalam manifesto 1918, Sinn Fein menetapkan salah satu cara perjuangan membentuk Republik Irlandia Utara adalah dengan menarik kader dari Parlemen Inggris. Karena itu, jika menang di suatu dapil, mereka tidak akan menjadi anggota Parlemen Inggris Raya yang mewakili dapil tersebut.
Namun, kursi mereka tidak bisa diduduki orang lain. Sebab, mereka memenangi kursi pemilu di daerah pemilihan masing-masing. Dalam Pemilu 2017 dan 2019, Sinn Fein mendapat tujuh dari 650 kursi DPR Inggris Raya.
”Banyak warga Irlandia menganggap Parlemen Inggris Raya sebagai parlemen yang memfasilitasi dan mendukung politik apartheid anti-Irlandia selama 50 tahun. Mereka menilai parlemen memaklumi dan mengesahkan pembunuhan orang Irlandia oleh aparat Inggris”, tulis Paul Maskey, anggota fraksi Sinn Fein di Majelis Rendah hasil Pemilu 2017, dalam The Guardian.
Maskey dan para anggota terpilih dari Sinn Fein menegaskan, mereka bukan anggota Parlemen Inggris Raya meski ikut pemilu yang bertujuan memilih anggota Parlemen Inggris Raya. Mereka menyatakan diri sebagai anggota Parlemen Irlandia dan bekerja untuk warga Irlandia. Mereka mencari suara di daerah pemilihan untuk tujuan itu.
Bukan boikot
Seperti caleg lain, para caleg Sinn Fein memang berkampanye di dapil masing-masing. Mereka menemui pemilih, membagikan brosur kampanye, hingga berpidato di kampanye akbar. Mereka juga mengajak pemilih menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara. Mereka bertujuan memenangi kursi di dapil masing-masing. Hanya saja, mereka tidak akan menduduki kursi parlemen jika menang. Sikap tersebut dikenal dengan istilah abstainsionisme (abstentionism).
Meskipun demikian, anggota terpilih dari Sinn Fein memastikan tetap bekerja untuk pemilih di dapil. Mereka berkomunikasi dengan partai politik di Inggris Raya, kelompok-kelompok masyarakat madani, dan para perantau Irlandia di Pulau Britania.
Setiap kali bertemu Pemerintah Inggris, hal yang mungkin mereka lakukan sebagai anggota terpilih Parlemen Inggris adalah berdebat secara langsung tentang aneka hal. Mereka juga melobi pemerintah agar memenuhi aspirasi pemilih. ”Kami melakukan itu tanpa harus menerima gaji sebagai anggota parlemen maupun duduk di Parlemen Inggris”, tulis Maskey.
Aspirasi politik yang diusung SNP dan Sinn Fein bisa menjadi ujian bagi Perdana Menteri Johnson, apakah ia mampu menjaga keutuhan Inggris Raya dari ancaman keterpecahan. Andai tak mampu, ia seperti mengalami karma akibat keluarnya Inggris dari UE.