Tak bisa dipungkiri, fenomena krusial di dekade kedua abad ke-21 adalah kehadiran media sosial yang telah memengaruhi bahkan menentukan perubahan di masyarakat.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Tak lama lagi tahun 2019 berakhir. Dekade kedua abad ke-21 sebentar lagi ditutup. Apa penanda penting dekade ini? Tak bisa dipungkiri, fenomena krusial periode ini adalah kehadiran media sosial yang telah memengaruhi, bahkan menentukan, perubahan di masyarakat.
Berkat media sosial, aksi bakar diri pada akhir 2010 oleh pedagang kaki lima di Tunisia, Mohamed Bouazizi, tersebar luas. Orang-orang membagikan tautan informasi terkait insiden itu sehingga semakin banyak warga Tunisia bersimpati terhadapnya. Bouazizi membakar diri sebagai wujud protes setelah barang dagangannya disita, dan pejabat kota bersama ajudannya menghina dirinya.
Media sosial juga menjadi alat yang membantu pengorganisasian demonstrasi di sejumlah negara Timur Tengah, selain Tunisia. Maka, pecahlah apa yang disebut Musim Semi Arab (Arab Spring), yang merujuk pada gerakan masif untuk mendorong perubahan serta demokratisasi.
Di tengah ketidakstabilan akibat dorongan perubahan itu, muncul gerakan ekstrem yang menamakan diri Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan NIIS di Mosul, Irak, pada 2014. Gerakan transnasional ini menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan pesan kekerasan. Rekaman-rekaman video eksekusi sandera disiapkan secara matang. Pengambilan gambar dan pengolahan video tampak dikerjakan dengan baik sebelum dibagikan melalui media sosial.
Dari semula dielu-elukan sebagai alat untuk mendorong demokratisasi, media sosial sekarang dilihat pula sebagai komponen pengancam demokrasi.
Hal paling penting, NIIS memanfaatkan media sosial untuk merekrut simpatisan serta kombatan dari seluruh dunia. Warga berbagai negara, mulai dari Inggris, Perancis, hingga Singapura dan Indonesia berdatangan ke wilayah yang diklaim NIIS sebagai teritorial mereka, yaitu sebagian wilayah Irak serta Suriah.
Remaja Inggris yang hidup tenang di kotanya tiba-tiba tertarik melakukan perjalanan jauh menuju Suriah. Kisah kepahlawanan dan janji kehidupan masyarakat yang tertata menjadi sarana pemikat oleh NIIS untuk merekrut simpatisan serta kombatan. Dunia terkejut dengan fenomena ini. Media sosial ternyata sungguh-sungguh memiliki kekuatan dahsyat.
Pada 2016, media sosial kembali memperlihatkan kekuatannya. Berita bohong (hoaks) dalam jumlah besar bermunculan di media sosial dan ditengarai ikut memberi pengaruh pada sikap para pemilih dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Setelah itu, sejumlah negara di Eropa merasa perlu untuk memberi perhatian besar pada kemungkinan penggunaan media sosial oleh pihak asing guna memengaruhi hasil pemilu. Metode yang dicurigai akan dipakai oleh pihak asing ialah penyebarluasan berita bohong untuk memengaruhi pilihan warga.
Dari semula dielu-elukan sebagai alat untuk mendorong demokratisasi, media sosial sekarang dilihat pula sebagai komponen pengancam demokrasi. Demokrasi yang seharusnya dibangun lewat perdebatan sehat, rasional, dan penuh tangguh jawab kini malah menghadapi tantangan dari masyarakatnya yang menggunakan hoaks sebagai landasan konstruksi argumen.
Media arus utama, yang dulu menjadi rujukan dominan warga dalam menyerap informasi, sekarang juga menghadapi tekanan hebat dari media sosial. Orang jauh lebih lama memelototi media sosial ketimbang membaca teks di koran, majalah, dan situs berita, bahkan ketimbang menonton berita di televisi. Berbeda dengan informasi di media arus utama yang melewati kurasi, kebanyakan informasi di media sosial bermunculan tanpa seleksi serta verifikasi.
Kehadiran media sosial sudah tak terhindarkan. Produk kemajuan teknologi ini tentu memiliki manfaat sangat besar, selain mempunyai dampak menggelisahkan. Media sosial pada dekade mendatang tak pelak kian menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dunia.